Penunjukan Pj Gubernur Banten Maladministrasi, Akademisi Minta Kocok Ulang

pj gubernur banten

Adib Miftahul, akademisi dan direktur Kajian Politik Nasional (dok indopos.co.id)

INDOPOS.CO.ID – Ditemukannya maladministrasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam penunjukan lima Penjabat (Pj) Gubernur oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI) atas laporan dari tiga organisasi independen. Yaitu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencengangkan publik.

Menurut anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, kesimpulan adanya maladminastrasi yang diputuskan usai Ombudsman memeriksa Kementerian Dalam Negeri, TNI, Polri, para ahli, serta berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Pertama, adalah ada penundaan berlarut dalam memberikan tanggapan atas permohonan informasi dan keberatan pelapor. Karena memang hingga hari ini, belum adanya tanggapan secara memadai terhadap permintaan informasi dan surat keberatan dari tiga lembaga yang merupakan pelapor tadi,” terang Robert,” Selasa (19/7/2022).

Kemudian kata Robert Na Endi Jaweng, bentuk maladministrasi kedua adalah, ada penyimpangan prosedur dalam pengangkatan penjabat kepala daerah, contohnya tadi adalah pengangkatan yang berasal dari unsur TNI aktif. Kemudian ketiga adalah, ada pengabaian kewajiban hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi,” tutur Robert dalam konferensi pers, Selasa (19/7/2022) kemarin.

Sejumlah penunjukan Pj kepala daerah yang dinilai cacat administrasi itu adalah, pengangkatan Pj Gubernur Banten Al Muktabar, Pj Gubernur Bangka Belitung Ridwan Djamaluddin, Pj Gubernur Sulawesi Barat Akmal Malik, Pj Gubernur Gorontalo Hamka Hendra Noer, dan Pj Gubernur Papua Barat Komisaris Jenderal (Purn) Paulus Waterpauw, serta Pj Bupati Seram Bagian Barat Brigjen TNI Andi Chandra As’Aduddin.

Menyikapi hal ini, akademisi Univeritas Islam Syeh Yusuf Tangerang Adib Miftahul mengatakan, ditemukannya maladminstrasi dalam pengangkatan sejumllah Pj kepala daerah termasuk Pj Guberur Banten ini, pihaknya menilai untuk trust (kepercayaan) ke publik perlu diadakan perbaikan.

“Entah kocok ulang atau apapun dengan mengikuti mekanisme yang ada. Akan menjadi preseden buruk kalau pengangkatan PJ Gubernur Banten ini diduga tak sesuai aturan,” ujar Adib yang juga direktur eksekutif Kajian Politik Nasonal (KPN) ini kepada indopos.co,id, Rabu (20/7/2022).

Jika hal ini tidak segera dilakukan oleh Mendagri, kata Adib, dampaknya kepercayaan publik berkurang, dan kondisi internal di Pemprov Banten juga tak kondusif. “Bagaimana internal mau taat aturan, tetapi proses Bosnya diduga tak sesuai aturan,” cetusnya.

Menurut Adib, adanya rekomendasi dari Ombudsman yang menyatakan terjadinya maladministrasi jadi landasan yang tak bisa ditawar. “Belum lagi kalau flashback ke belakang, PJ Gubernur Banten Al Muktabar ini kan semasa jadi Sekda juga banyak tak begitu kondusif diterima oleh anak buahnya,” imbuh Adib.

Pegamat politik ini menambahkan, pihaknya manganalisa memang ada indikasi Pj Gubernur Banten ini kental soal pesanan politik. “Kalau melihat aturan pengangkatannya masih banyak perdebatan dan digugat, seolah-olah dipaksakan,” tandasnya.

Sementara pengamat politik dari Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, semua yang dituduhkan soal maladministrasi oleh Ombudsman Republik Indonesia pada Mendagri Tito Karnavian hanya terjadi kelalaian soal pengangkatan militer aktif, karena jelas bertentangan dengan putusan MK terkait prosedur dan pedoman penunjukan Pj.

Sisanya, kata Dedi, masih dapat diterima meskipun tidak menyenangkan semua pihak terutama aktivis sipil. “Bagaimanapun harus diusut terkait kewenangan penunjukan Pj Gubernur oleh Mendagri, dan sejauh ini semua yang tertunjuk tidak mendapat hambatan hukum,” katanya, Rabu (20/7/2022).

Menurut Dedi, meskipun dalam kaitan transparansi memang disayangkan, hanya saja secara teknis regulasi transparansi itu rupanya tidak menjadi syarat wajib. “Sehingga yang perlu dikritik itu bukan Mendagri, karena tentu Tito hanya menjalankan amanatnya sebagai pejabat publik. Meskipun kemudian ada celah bagi Tito untuk menunjuk secara subyektif, itu bagian dari kelemahan regulasinya,” ungkap Dedi.

Sebab menurut Dedi, tidak ada aturan soal partisipatif dalam penunjukan Pj Kepala Daerah, karena memang secara penuh hak pemerintah pusat melalui Kemendagri. “Pj Kepala Daerah bukan jabatan yang diproses melalui uji publik, sehingga tidak ada agenda transparansi dan partisipatif itu. Ini memang kurang menyenangkan, tetapi kritik yang ditujukan pada Tito jelas salah alamat,” tegasnya. (yas)

Exit mobile version