Kontroversi Narasi Bahaya BPA, Mekanisme Kontrol BPOM Dipertanyakan

Kontroversi Narasi Bahaya BPA, Mekanisme Kontrol BPOM Dipertanyakan - galon e1652237769683 - www.indopos.co.id

Ilustrasi. Foto: Capture Instagram

INDOPOS.CO.ID – Pengusaha di bidang makanan yang juga Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF), Franciscus (Franky) Welirang, mempertanyakan standar kontrol di BPOM terkait kontroversi rencana pelabelan produk air kemasan galon guna ulang. BPOM selama puluhan tahun memberi izin edar dan menyatakan keamanan produk air kemasan galon berbahan polikarbonat.

“Jadi, selama produsen air minum galon guna ulang sesuai dengan standar pemerintah maka seharusnya tidak bermasalah. Pertanyaan saya, mengapa isu ini baru keluar hari ini dan tidak lima tahun lalu,” tukas Franky, sapaan akrab Franciscus Welirang.

Komentar Franky ini berkaitan dengan inkonsitensi informasi pejabat BPOM dengan informasi publik yang dimuat dalam situs resmi BPOM. Sebagaimana diketahui, Rita Endang, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM menyampaikan informasi melalui wawancara dengan wartawan Antara seputar kekhawatiran akan tingkat paparan BPA dalam produk air kemasan galon. Hasil wawancara ini kemudian diangkat menjadi berita oleh Antara dan diberitakan ulang oleh media media lain.

Yang menjadi masalah, informasi resmi di situs BPOM menyatakan hal yang berbeda karena menegaskan keamanan lebel BPA pada produk air kemasan galon polikarbonat.

Beberapa pengamat kebijakan melihat ada kejanggalan dalam pola informasi publik yang dilakukan oleh Deputi BPOM ini. Seharusnya informasi publik disampaikan terbuka melalui situs resmi dan bukan melalui satu media saja.

Narasi Deputi Pengawasan Pangan Olahan BPOM yang mengkawatirkan keamanan kemasan air minum galon guna ulang ini, menurut Franky justru menimbulkan pertanyaan soal mekanisme kontrol yang dilakukan pemerintah.

Menurutnya, dalam mengeluarkan pernyataan soal keamanan galon guna ulang itu, BPOM seharusnya berkoordinasi dengan Kemenperin terlebih dulu.

“Pertanyaan saya adalah mekanisme kontrol pemerintah bagaimana? Seharusnya, BPOM kan juga harus berkoordinasi dengan Kemenperin dulu. Karena, hal ini berhubungan dengan wadah dan kontaminasi yang berasal dari wadah tersebut,” katanya.

Dia juga mempertanyakan uji yang dilakukan BPOM baru-baru ini. “He….he….temuan baru itu siapa yang menemukan???Apakah BPOM atau ada yang ngajarin BPOM???” cetusnya.

Kalau soal BPA berbahaya, Franky mengatakan semua industri kemasan air minum galon guna ulang juga sudah mengetahuinya, begitu juga dengan adanya batasan migrasi kandungan BPA yang diijinkan BPOM. “Jadi, saya kira apa yang disampaikan Deputi BPOM itu berlebihan dan sangat normatif,” ujarnya.

Kecuali, kata Franky, ada keputusan yang melarang wadah galon guna ulang itu digunakan. Itu artinya industri harus memindahkan semua galon guna ulang ke galon sekali pakai yang berbahan PET atau Polyethylene terephthalate. Jika itu terjadi, dia mengatakan itu akan lebih menguntungkan bagi industri AMDK galon sekali pakai.

“Kesempatan ini akan digunakan perusahaan AMDK galon sekali pakai menjadi sarana persaingan wadah di AMDK,” tukasnya.

Artinya, lanjut Franky, industri yang menggunakan wadah PET akan mendapatkan kesempatan pemasaran yang lebih besar. Hal itu karena industri AMDK yang menggunakan galon guna ulang sudah tidak bisa lagi menjual dengan wadah PC. Tidak itu saja, industri AMDK galon guna ulang juga harus mencari supplier wadah galon sekali pakai. “Dalam hal ini, industri AMDK yang menggunakan wadah PET sekali buang akan menikmati pasar AMDK,” katanya.

Pembina Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan DPD Jawa Tengah, Willy Bintoro Chandra, juga mempertanyakan BPOM yang terkesan lebih mendengarkan apa yang disampaikan masyarakat awam ketimbang para pakar kimia dan para dokter terkait BPA ini.

“Yang lebih kredibel memberikan masukannya kan seharusnya ahli-ahli kimia dan dokter yang memang mereka tahu soal BPA ini. Bukan masyarakat-masyarakat awam yang sama sekali tidak memiliki ilmu tentang BPA,” tandasnya.

Karena sikap yang ditunjukkan BPOM inilah, menurut Willy, ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya untuk persaingan usaha yang tidak sehat. Tapi, kata Willy, BPOM tentu sangat senang dengan situasi dimana ada sejumlah pihak yang mendukung regulasi pelabelan BPA itu, sekalipun BPOM sebenarnya mengetahui bahwa dukungan itu hanya datang dari masyarakat awam yang digunakan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan usahanya.

“Jadi, kami melihat alasan BPOM untuk mengatur stiker free BPA itu tidak begitu kuat. BPOM mengatakan tidak melarang galon guna ulang tapi disuruh pakai stiker bebas BPA. Itu berarti BPOM tidak tahu soal perdagangan. Seharusnya BPOM tahu bahwa orang dagang itu sudah berusaha dan berinvestasi besar. Jadi, pernyataan BPOM soal galon guna ulang ini bisa berdampak negatif terhadap perdagangan di tanah air,” ucapnya.

Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, C.Ht, mengatakan uji sampel yang dilakukan BPOM baru-baru ini bukan berarti BPOM bisa melakukan pelabelan bebas BPA pada kemasan air minum galon guna ulang begitu saja.

“Menurut saya belum bisa. Masih perlu banyak kajian. Labelisasi bukan satu satunya cara untuk melindungi masyarakat. Saya karena justru hal ini akan dijadikan alat persaingan dagang di antara pengusaha AMDK,” katanya.

Dia menyarankan bahwa kemungkinan yang lebih tepat untuk menjawab menjawab keinginan BPOM itu adalah dengan merevisi SNI Wajib AMDK, yaitu dengan menambah persyaratan berapa kandungan BPA maksimum yang diijinkan.

“Nah, karena ini SNI wajib maka semua AMDK harus telah memenuhi SNI tersebut sebelum bisa diedarkan. Kalau demikian, maka tidak ada perusahaan AMDK yang dirugikan dan konsumen malah diuntungkan,” pungkasnya. (ibs)

Exit mobile version