Wacana Pelabelan BPA Terindikasi Ciderai Iklim Usaha yang Sehat

AJI

DR. Satrio Arismunandar, Praktisi Media dan Pendiri Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI)

INDOPOS.CO.ID – Isu Bisphenol A (BPA) pada kemasan galon berbahan polikarbonat hingga saat ini terus dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu yang sebenarnya tidak paham mengenai isu tersebut. Mereka berusaha memunculkan beberapa opini yang menggiring buzzer media sosial Ikut berpendapat pada pembahasan regulasi ini.

Seperti diketahui BPOM saat ini tengah berusaha merevisi peraturan BPOM nomor 31 tahun 2018 tentang label pangan olahan, yang bertujuan seolah-olah mendiskreditkan galon berbahan polikarbonat untuk dilabeli “berpotensi mengandung BPA”. Menyikapi hal ini, para akademisi, pakar media dan KPPU membahasnya dalam sebuah webinar Menelisik Isu BPA, Peran Buzzer, LSM dan Organisasi Bru Dalam Pembangunan Opini, di Jakarta Rabu, (20/4/2022).

Salah satu pembicara yang hadir saat itu adalah DR. Satrio Arismunandar, Praktisi Media dan Pendiri Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dalam paparannya menyampaikan kekecewaannya terkait pemilihan narasumber yang kurang kredibel ketika membahas isu BPA ini.

Satrio menambahkan wartawan harus kredibel dalam mengutip informasi, apakah si nara sumber tersebut memiliki kapabilitas dan otoritas untuk membahas isu besar terkait isu BPA ini. Menurutnya, seorang narasumber termasuk kredibel ketika dia memang punya kompetensi, otoritas tepat terkait isu yang dibahas, apalagi ketika tema BPA yang dibahas.

Satrio menambahkan “Kalau memang tidak punya kapasitas, ya lebih baik tidak perlu dikutip. Mohon maaf siapa tahu wartawan ini juga bermain di balik perang dagang terkait isu BPA ini. Harusnya sebagai wartawan ya harus profesional, bukan malah memihak salah satu pihak. Survei itu tidak bisa jadi landasan sebuah berita. Ini tidak bisa membuat rekomendasi atau kesimpulan berdasarkan survey atau opini, karena BPA butuh penelitian dari ahli dan tidak sembarangan,” katanya.

Nara sumber lainnnya Direktur Kebijakan Persaingan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (DKP KPPU) Marcellina Nuring Ardyarini dalam kesempatan ini menjelaskan bahwa ada empat kewenangan KPPU dalam menanggapi isu BPA kali ini. Menyelidiki, memeriksa, dan memutuskan dugaan pelanggaran usaha sehat oleh pelaku bisnis.

“Proses kerja dari KPPU sendiri juga mirip seperti jurnalis yang harus riset lapangan hingga data cover both side, agar mendapatkan info yang tepat” katanya.

Nuring juga menyampaikan terkait isu BPA ini, “Ada kemungkinan regulasi ini akan merusak iklim persaingan, tapi kami belum perdalam lagi bagaimana pendapat dari para ahli. Ini ada kemungkinan dengan adanya pelabelan itu sepertinya menjurus satu produk galon guna ulang polikarbonat. Jadi, kemungkinan kebijakan itu sangat dapat membatasi pelaku usaha tersebut sehingga menjadi lebih rendah. Ada indikasi diskriminasi di antara pelaku usaha AMDK pada kasus ini. Sampai saat ini KPPU masih terus dalam proses pengumpulan data,” tuturnya.

Nuring menambahkan jika ternyata temuan fakta di lapangan, revisi peraturan BPOM tentang label pangan olahan itu ada indikasi menciderai persaingan usaha yang sehat. Karenanya, kata Nuning, KPPU menyarankan agar BPOM menghapus beberapa pasal yang terindikasi memunculkan persaingan usaha. “Kami di sini akan terus mendampingi sehingga data dari produsen-produsen ini valid dan dapat dipertanggung jawabkan” ujarnya.

Di acara yang sama, DR. Ahmad Zainal Abidin, Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan BPA dan polikarbonat adalah bahan monomer yang berpotensi merugikan kesehatan jika tidak sesuai dengan ambang batas yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Namun, kata Zainal, berdasarkan kesepakatan internasional, batas migrasi BPA pada galon berbahan polikarbonat di Indonesia telah ditetapkan sebesar 0,6 BPJ (600mg/kg bahan plastik). Berdasarkan rilis yang dikeluarkan BPOM batas migrasi BPA dalam galon berbahan polkarbonat jauh di bawah batas aman tersebut. “itu artinya, air galon berbahan polikarbonat itu aman untuk dikonsumsi” tukasnya.

Dosen Teknik Kimia ITB ini menambahkan “Pemerintah harus menjaga rasa aman pada masyarakat, karena memang regulasi di lapangannya semakin ketat. Konsumen harus tahu, bahwa realita hasil di laboratorium yang saya tahu, penggunaan galon berbahan polikarbonat ini masih aman ambang batasnya. Jadi tidak perlu ada kegelisahan baik bagi industri ataupun konsumen terkait isu BPA ini.”

Selain itu anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Hermawan Seftiono, S.Si, M.Si, mempertanyakan apakah pernah ada kasus di masyarakat yang terpapar BPA dari galon berbahan polikarbonat?

“Jika belum ada kasus orang yang terpapar BPA, saya rasa tidak perlu ada revisi regulasi, dan butuh penelitian lebih lanjut jika memang akan mengubah regulasi yang memang sudah lama ada. Tidak bisa sebatas berangkat dari beberapa opini atau hasil survey di masyarakat saja datanya,” katanya.

Hermawan juga menambahkan “Terkait label BPA pada kemasan galon, di negara Eropa juga tidak ada labelnya. Jika ada label BPA ini, konsumen pasti akan semakin bingung dan banyak pertanyaan. Sudah memakai puluhan tahun tapi kok baru sekarang dibahas, ada apa?”

Menurutnya, hal-hal seperti ini yang harus diriset lebih jauh, apakah memang ada urgensi yang membuat sebuah regulasi harus direvisi. Padahal kata Hermawan, masyarakat sudah bertahun-tahun memakainya, dan tidak ada hal buruk menimpa.

“Jadi, pengujian BPA pada kemasan yang ada di beberapa produk kemasan makanan dan minuman, juga harus melibatkan langsung beberapa industri, agar lebih tahu seperti apa hasil penelitiannya, dan sikap apa yang dilakukan agar tidak menimbulkan kekhawatiran para konsumen,” tambahnya. (ibs)

Exit mobile version