Konflik Ukraina dan Keberlanjutan Transisi Energi

Dosen UCIC, Cirebon

oleh Dr. Taufan Hunneman, Dosen UCIC, Cirebon

INDOPOS.CO.ID – Ketegangan geopolitik berlarut antara Rusia dan Ukraina, memicu krisis ekonomi global dan disrupsi rantai pasok energi global. Rusia telah menghentikan pasokan gasnya ke sejumlah negara Eropa, seperti Bulgaria dan Polandia, karena dua negara terakhir ini menolak membayar dengan menggunakan rubel. Perusahaan gas Rusia, Gazprom, mulai menghentikan pasokan gas mulai 28 April 2022.

Pemerintah Jerman juga merasa cemas, bila pasokan gas dari Rusia benar-benar dihentikan. Jerman kini menghadapi krisis energi, terutama karena kenaikan harga listrik. Gas alam cair yang mereka impor dari Rusia adalah bagian dari skema transisi energi, dari pemanfaatan energi nuklir (PLTN), menuju kepada energi baru dan terbarukan (EBT), yang lebih ramah lingkungan. Bahkan ada opsi mengaktifkan kembali sejumlah PLT, bila krisis energi semakin memburuk.

Bila Jerman dan Polandia masih ada kecenderungan untuk negosiasi ulang dengan Rusia, sebagai upaya pencegahan krisis energi di negara masing-masing, tidak demikian dengan Bulgaria. Pemerintah Bulgaria menyatakan, terhentinya pasokan gas Rusia tidak memberi ancaman serius bagi ketahanan energi. Bulgaria mengklaim sudah lama bersiap pada skenario pembatasan gas dari Rusia.

Pelajaran yang bisa kita petik adalah, krisis energi bisa terjadi setiap saat, tanpa kita pernah duga, dengan faktor penyebab yang sangat bervariasi, salah satunya adalah konflik multilateral. Indonesia bisa mengambil inspirasi dari kesiapan Bulgaria, yang bersikap antisipatif dengan cara melanjutkan transisi energi. Secara kebetulan transisi energi juga menjadi program prioritas Presidensi G20.

Presidensi G20 merupakan momentum bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi. Wajar bila transisi energi masuk skala prioritas, karena merupakan langkah besar untuk menghindari pemanasan global, sebuah fenomena perubahan iklim (climate change) yang sangat beresiko bagi kehidupan generasi mendatang.

Dalam konteks mendukung prioritas program transisi energi, Pertamina melalui subholding Pertamina NRE (new renewable energy), terus memperluas portofolio energi hijau, seperti energi panas bumi, solar PV, biogas, serta partisipasi dalam membangun ekosistem kendaraan listrik (EV).

Pengembangan dan kontribusi PLTP

Secara kelembagaan, Pertamina memiliki beberapa proyek transisi energi unggulan, yang siap menjadi “etalase” dalam G20. Untuk ekositem EV, Pertamina NRE berpartisipasi bersama Patra Niaga. Proyek unggulan lainnya adalah pengembangan pembangkit listrik panas bumi di area Lahendong, Tomohon (Sulut).

Salah satu potensi energi terbarukan yang perlu dikembangkan adalah PLTP (pembankit listrik tenaga panas bumi), yang berbasis geothermal. Sumber panas bumi terbilang melimpah di Tanah Air, untuk itu perlu optimalisasi lebih lanjut. Selaras dengan rencana Pertamina, yang pada tahun 2026 berkomitmen mengembangkan produksi energi terbarukan dengan target 20.000 megawatt.

Selain lewat panas bumi, juga dengan optimalisasi pemanfaatan gas untuk listrik. Kini sedang disiapkan pembangunan pipa gas antara Cirebon – Semarang, untuk memasok gas bagi kawasan industri (KI) di Jateng, seperti KI Kendal dan Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang. Proyeksi kebutuhan gas kawasan industri di Jateng, termasuk KI Brebes, adalah 163 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Pertamina NRE pada tahun 2022 ini menargetkan bisa memproduksi listrik hingga 7.100 Giga Watt hour (GWh). Di tahun ini juga kapasitas terpasang listrik akan sebesar 2,9 GW yang dikontribusikan dari gas to power sekitar 1.800 MW, EBT 971 MW, dan EV serta baterai sebesar 96,2 MWh.

CEO Pertamina NRE, Dannif Danusaputro menyampaikan, untuk mencapai target tersebut, program yang ditargetkan terealisasi di tahun 2022 antara lain commercial operation date (COD) PLTGU Jawa-1 yang berkapasitas 1.760 MW dan PLTS internal Pertamina dengan potensi mencapai lebih dari 280 MW.

Pada tahun 2022, proyek strategis Pertamina NRE adalah mewujudkan program unlock value di Pertamina Geothermal (PGE). Dengan unlock value, Pertamina NRE berharap PGE sebagai anak usaha akan mendapatkan alternatif pembiayaan untuk pengembangan proyek-proyek geothermal ke depan.

Program strategis terkait EBT lainnya adalah, Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Gothermal Energy (PGE), telah siap menambah satu Wilayah Kerja (WK) geothermal dalam rangka meningkatkan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sehingga saat ini PGE mengoperasikan 15 WK. WK baru panas bumi yang izin pengembangannya telah diserahkan kepada PGE tersebut berlokasi di Kotamobagu, Sulawesi Utara.

Saat ini kapasitas terpasang PLTP yang operasikan sendiri oleh PGE di atas adalah sebesar 672 MW (mega watt). Sesuai dengan masterplan Pertamina, pengembangan panas bumi dalam lima tahun ke depan akan meningkat signifikan, ditargetkan naik dua kali lipat, menjadi 1.112 Megawatt (1,1 Gigawatt) pada 2026.

Di samping operasional sendiri oleh PGE, Pertamina juga mengelola panas bumi bersama mitra melalui joint operation contract dengan kapasitas terpasang sebesar 1.205 MW. Dengan keseluruhan pengelolaan pengembangan panas bumi tersebut, diharapkan Pertamina dapat menjamin terpenuhinya energi bersih dan hijau di masa depan

Melanjutkan transisi energi

Kita sedang berkejaran dengan waktu. Saat ini adalah momentum terbaik mempercepat transisi menuju energi yang lebih bersih dan hijau. Memepercepat transisi menuju EBT, adalah salah satu solusi penting mengatasi situasi kompleks hari ini. Penyiapan infrastruktur dan membangun kesadaran masyarakat, bisa dibangun secara paralel.

Dari segi geografis dan iklim, negeri kita berada pada posisi yang sangat baik, untuk meraih banyak manfaat dari energi bersih, dan sangat siap menjadi episentrum energi terbarukan. Indonesia memiliki salah satu potensi energi terbarukan tertinggi di planet ini, sehingga mampu menghasilkan energi berlipat ganda dari peak saat ini. Bila ditambah cadangan nikel, material utama baterai kendaraan listrik, potensi tentu akan lebih besar lagi.

Agenda jangka pendek adalah memenuhi target ambisius, yakni menggunakan 23 persen EBT dalam bauran energi nasional tahun 2025, dari sekitar 13 persen saat ini. Untuk mencapainya perlu melibatkan sektor swasta, agar bersedia investasi dalam skala besar. Kemudian ada kepastian terkait regulasinya. Menetapkan target lebih ambisius pemanfaatan EBT, dalam jangka panjang akan memberikan ruang bagi investor, dan pelaku usaha yakin sektor EBT akan terus tumbuh.

Transisi energi bersih dan hijau akan semakin kompetitif, berkat kemajuan sains dan teknologi. Biaya pembangunan infrastruktur EBT cenderung turun dari waktu ke waktu. Proses produksi netral karbon (NZE) pada gilirannya juga semakin kompetitif, melalui biaya energi yang lebih rendah bagi sektor swasta. Berikutnya akan menciptakan peluang pekerjaan berkualitas lebih tinggi, meningkatkan ketahanan energi, dan pada akhirnya ada insentif bagi konsumen.

Strategi transisi energi tidak bisa lepas dari peran sektor lain, dalam hal ini swasta dan konsumen. Banyak aspek dalam sektor energi yang tidak hanya bertumpu pada kebijakan pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat selaku pengguna. Upaya mempercepat transisi energi dapat dilakukan dengan menetap skema pendanaan berkelanjutan global, utamanya aspek investasi, sebagai pendorong penguatan kemampuan teknologi dan kapasitas dalam negeri.

Transisi energi adalah program yang sangat strategis, yang selain membutuhkan investasi besar, juga sinergi antarlembaga. Pada fase ini kita kembali diingatkan, investasi energi hijau saat ini, bukan soal Indonesia hari ini, namun bagaimana akan berdampak positif bagi generasi mendatang. Saat seabad Indonesia (2045), wacana seperti pengendalian polusi (karbon), pengembangan infrastruktur yang bersih, dan kemampuan beradaptasi perubahan iklim, telah menemukan bentuknya. *

Exit mobile version