Pengamat: untuk Merdeka dari Pengangguran Butuh Waktu Panjang

Bhima-Yudhistira.

Transisi Ekonomi Hijau, Perekonomian Indonesia, produk domestik bruto

INDOPOS.CO.ID – Persoalan pengangguran masih menghantui bangsa Indonesia yang saat ini memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 kemerdekaan. Itu artinya Indonesia belum merdeka dari masalah pengangguran dan ketersediaan lapangan kerja.

Apalagi dengan munculnya industri 4.0 saat ini, akan menambah panjang pengangguran usia produktif akibat tergantikan oleh otomasi.

Pengamat ekonomi selaku Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan untuk merdeka dari pengangguran, sepertinya masih panjang perjalanannya.

“Terutama dengan munculnya industri 4.0 yang dikhawatirkan akan menambah panjang pengangguran usia produktif akibat tergantikan oleh otomasi. Tapi ada beberapa saran untuk melakukan mitigasi sebelum bonus demografi berubah menjadi bencana demografi,” tandas Bhima ketika dihubungi indopos.co.id, Rabu (17/8/2022).

Menurut Bhima, ada lima solusi untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia. Pertama, peningkatan serapan tenaga kerja produktif di sektor pertanian. Di tengah ancaman krisis pangan, sektor pertanian justru memberikan potensi bagi angkatan kerja usia produktif.

Sejauh ini terdapat 40,6 juta tenaga kerja di sektor pertanian atau setara dengan 30% total tenaga kerja. Sementara usia produktif di pertanian hanya mencapai 8% (usia 20-39 tahun) dari total porsi pekerja di sektor pertanian.

“Idealnya pemerintah mendorong sektor pertanian dengan pembelian harga yang menarik dari Badan Urusan Logistik (Bulog), meningkatkan alokasi subsidi pupuk dan adaptasi teknologi tepat guna,” ungkap Bhima.

Kedua, kata Bhima, mendorong kesempatan berwirausaha. Riset menunjukkan bahwa rasio kewirausahaan di Indonesia hanya 3,7% dari total penduduk, tertinggal dibanding Malaysia 4,7% dan Thailand 4,2%.

Sementara sektor formal masih dalam tahap pemulihan, kesempatan kerja sebagai wirausahawan terutama di era digital terbuka lebar.

“Kuncinya dunia pendidikan perlu berkolaborasi dengan praktisi bisnis untuk memberikan gambaran kepada peserta didik terkait cara teknis memulai berwirausaha, pemerintah dan perbankan mempermudah pembiayaan modal bagi pelaku usaha pemula,” tandasnya.

Solusi ketiga, menurut Bhima adalah efektifitas serapan tenaga kerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kontribusi BUMN dilihat dari nilai aset mencapai 53% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Peran BUMN sebaiknya dioptimalkan untuk menyerap tenaga kerja di berbagai sektor. BUMN kan mendapat suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp73,2 triliun. Maka idealnya ada target yang jelas berapa serapan pekerja baru di BUMN tahun 2023,” tutur Bhima.

Keempat, lanjut Bhima, perlu ada link and match sekolah vokasi dengan pelaku industri pengolahan. Pembangunan kawasan industri baru yang masif terutama di sekitar Jawa Tengah akan mendorong serapan tenaga kerja. Namun, link and match masih jadi tantangan utama karena kualitas lulusan sekolah vokasi tidak nyambung dengan kebutuhan industri.

“Maka di sini kuncinya adalah mendorong kerja sama dalam bentuk sharing expertise pelaku industri di sekolah vokasi, hingga magang dengan upah dan pendampingan yang layak,” katanya.

Solusi kelima dan terakhir kata Bhima yakni padat karya di desa bukan mega proyek infrastruktur. Pembangunan infrastruktur sejauh ini menelan biaya besar, namun tingkat serapan tenaga kerja di sektor konstruksi masih belum optimal.

“Dibanding membangun mega proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan kereta cepat, sebaiknya fokus pembangunan inklusif di pedesaan dengan program padat karya tunai atau dana desa,” tutup Bhima. (dam)

Exit mobile version