INDOPOS.CO.ID – Rencana penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia merupakan ide lama. Namun, pemerintah dalam melakukan penghematan subsidi BBM tahun ini tidak melakukan realokasi untuk mendorong mempercepat energi terbarukan.
Hal tersebut disampaikan pengamat ekonomi selaku Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, kepada indopos.co.id, Kamis (24/11/2022).
Bhima mengatakan pemerintah juga tidak mendorong untuk penggunaan transportasi publik secara signifikan. Sehingga yang terjadi, penghematan dari subsidi BBM dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia justru bisa lari anggarannya untuk proyek-proyek yang tidak berhubungan dengan transisi ke energi bersih.
“Misalnya, ke proyek Ibu Kota Negera (IKN), mega proyek yang menimbulkan masalah. Proyek strategis nasional (PSN) yang menimbulkan konflik dengan warga. Fakta seperti itu kan menjadi tanda tanya besar,” kata Bhima.
Karena itu, kata Bhima, harus dipastikan. Kalau memang terjadi penghapusan subsidi energi, secara anggaran harus bisa jadi alternatif yang bisa dijangkau kepada masyarakat.
“Karena kalau harga BBM naik sebagai konsekuensi dari pencabutan subsidi BBM, konsekuensinya para petani, nelayan dan para pekerja akan bertanya, alternatifnya apa? Kalau nelayan tidak dikasih solar dengan harga terjangkau, maka alternatifnya apa? Apakah mereka akan dikasih kapal nelayan listrik atau speedboat listrik? Hal yang sama juga dengan petani apakah traktornya menggunakan baterai atau listrik? Atau pemerintah menggantikannya dengan alat alternatif yang biayanya jauh lebih terjangkau?” tanya Bhima.
Sebab, kata Bhima, kondisinya akan aneh ketika BBM naik karena kebijakan penghapusan subsidi, dan pemerintah mendorong untuk membeli motor listrik atau mobil listrik yang harganya jauh lebih tinggi.
“Harus ada konsistensi, di mana upaya untuk mengurangi ketergantungan pada minyak harus dibarengi juga dengan pajak karbon. Jadi pajak karbon ini fungsinya akan menjadi stimulus juga untuk meringankan beban masyarakat ketika beralih ke transisi energi yang lebih bersih,” ungkap Bhima.
Contohnya, lanjut Bhima, bisa jadi penghapusan subsidi dilakukan, kemudian untuk BBM jenis Pertamax atau BBM yang harganya relatif tinggi dikenakan pajak karbon. Pajak karbon digunakan untuk stimulus ekosistem mobil listrik sehingga harga alternatifnya lebih terjangkau.
“Subsidi transportasi publik juga lebih besar. Inilah yang tidak bisa dipegang di Indonesia. BBM naik harganya karena subsidi dikurangi, tetapi tidak berpengaruh juga bagi masyarakat untuk berpindah ke transportasi publik yang lebih ramah lingkungan. Karena itu, perlu hati-hati dalam transisi ini, sampai pemerintah mempunyai arahan yang jelas soal alternatif ini, termasuk bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak,” tutup Bhima. (dam)