Prospek Ekonomi dan Keuangan Syariah dalam Pengelolaan Koperasi dan UMKM

Foto : Gedung Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menegah Republik Indonesia

Foto : Gedung Kementerian Koperasi

INDOPOS.CO.ID – Aspek ekonomi dalam kehidupan manusia adalah segala hal yang meliputi produksi, distribusi, pertukaran, serta konsumsi barang dan jasa Dengan definisi seperti itu, aspek ekonomi di dalam syariat Islam menjadi bagian dari muamalah karena pada dasarnya segala hal yang meliputi produksi, distribusi, pertukaran, serta konsumsi barang dan jasa telah diatur di dalam syariat Islam, maka hal-hal yang tercakup dalam ekonomi ini yang berpedoman kepada syariat Islam, disebut sebagai ekonomi Islam, atau ekonomi yang berlandaskan syariat Islam, atau dikenal luas pula dengan istilah ekonomi syariah.

Terminologi “Ekonomi” yang dipakai pada istilah “Ekonomi Islam” masih mengacu kepada terminologi “Ekonomi Konvensional”. Dengan demikian, isi Ilmu Ekonomi Konvensional, yang terurai menjadi ilmu-ilmu cabang dan berbagai spesialisasinya, secara garis besar diadopsi ke dalam Ilmu Ekonomi Islam. Karenanya, studi Ilmu Ekonomi Islam dewasa ini juga membahas Ekonomi Mikro dan Ekonomi Makro sebagai cabang utama ilmu ekonomi. Tentu saja, pembahasannya disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Dampak dari adopsi itu, kerangka dan penjabaran operasional Ilmu Ekonomi Islam disesuaikan dengan Ilmu Ekonomi Konvensional. Karena operasionalisasi ilmu ekonomi yang tertata akan membentuk sistem ekonomi, maka sistem ekonomi Islam yang terbentuk dewasa ini juga menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi konvensional.

Peran Ekonomi Dan Keuangan Syariah Dalam Ketahanan Ekonomi Rakyat

Peran keuangan syariah dibangun atas dasar prinsip-prinsip keuangan Islam. Prinsip-Prinsip keuangan syariah sebagai bagian dari ekonomi Islam telah banyak dibahas oleh berbagai pemikir muslim dari masa awal Islam sampai saat ini. Ada pertanyaan mendasar ketika suatu sistem yang akan dibangun dengan berbasis Islam yaitu yang berkaitan dengan apa yang akan dihasilkan (barang atau jasa), bagaimana caranya, siapa yang akan menjalankannya, bagaimana sebuah keputusan diambil, siapa yang memiliki otoritas dalam mengambil keputusan dan bagaimana lembaga Islam dapat mengatasi berbagai masalah masyarakat modern. Namun jauh sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut di jawab, seharusnya ada landasan yang dapat dijadikan pijakan yang benar dalam mengkonstruksi dasar-dasar keuangan mikro syariah.

Dasar-dasar kelembagaan keuangan mikro syariah yang sudah berkembang dewasa ini sebagai hasil rekayasa manusia memiliki berbagai kelemahan karena dibangun hanya dengan filosofi “humanity”, sementara unsur “spiritualitas – yang bertendensi keilahian” tidak dijadikan pijakan, hal mana sebagai sesuatu yang jamak karena keuangan mikro yang berkembang pesat di awal pertumbuhannya dikembangkan dalam tradisi kapitalistis. Kritik dan kecaman terhadap kelemahan teori pembangunan sosio-ekonomi yang menjadi acuan dalam praktek pembangunan ekonomi selama ini, dilontarkan oleh para ilmuwan lain. Mereka berpendapat bahwa kelemahan paling mendasar dari paradigma teori ekonomi tersebut adalah pengabaiannya terhadap dimensi moral, nilai-nilai sosial dan etika. Menyadari adanya kelemahan mendasar tersebut, mereka bukan hanya menyarankan agar digunakan pendekatan interdisipliner dalam mempelajari fenomena ekonomi, tetapi juga menyarankan agar dilakukan pendekatan holistik. Pendekatan ini mengintegrasikan kebutuhan material dan spiritual manusia.

Membahas model keuangan mikro yang ideal dalam perspektif Islam perlu kajian terhadap prinsip-prinsip ekonomi Islam yang meliputi, (1) Prinsip keadilan (justice), Prinsip keterbukaan dan kejujuran (transparance & fairness), dan Prinsip kemitraan (partnership), dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang prinsip-prinsip keuangan mikro yang telah menjadi landasan praktek dalam dunia keuangan mikro. Prinsip-prinsip keuangan mikro yang dimaksud, antara lain: (1) Skala dan kedalaman jangkauan pembiayaan, (2) Keberlanjutan (sustainability), (3) Pemberdayaan (social intermediatory), (4) Komersial (financial intermediatory).

Semua pihak harus mendapat pelayanan yang sama tanpa membeda-bedakan kaya-miskin, laki-laki – perempuan, orang desa atau orang kota, saudara atau bukan saudara, muslim atau pun non-muslim. Memposisikan masyarakat miskin sebagai partner usaha dalam memandirikan ekonomi adalah pilihan yang terbaik dan benar. Ketika masyarakat miskin dijadikan sebagai obyek “dana sosial-filantrofi” , maka mereka hakekatnya telah kehilangan kebebasan dan memilih, dan menempatkan mereka pada posisi “tangan di bawah”. Selain dalam pandangan agama mereka “hina” atau kita yang menghinakan mereka dengan cara “diberi” bukannya mereka di’angkat” dan disetarakan dengan kita “keuangan mikro syariah” sebagai mitra dalam menjalankan kegiatan ekonomi produktif. Sehingga akhirnya mereka dapat mandiri dan berdikari.

Hubungan kemitraan antara lembaga keuangan mikro syariah dengan masyarakat miskin dapat terwujud dalam berbagai pilihan akad yang dishari’ahkan. Namun organisasi yang dibangun untuk mengoperasionalisasikan pelayanan jasa keuangan mikro pun semestinya menggunakan prinsip kemitraan. Prinsip kemitraan dalam bahasa Mahmud Syaltut adalah Syirkah Ta’awwuniyah. Bentuk organisasi “lembaga/badan usaha” yang mendekati prinsip tersebut adalah badan hukum koperasi.

Tantangan dan Peluang Penerapan Ekonomi Dan Keuangan Syariah Dalam Pengelolaan Koperasi dan UMKM

Di Indonesia nilai-nilai keuangan mikro sudah lahir sebelum Indonesia ini ada lalu teraktualisasi secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia (UUD 45). Founding Fathers negara ini telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam membangun sistem ekonomi untuk masa yang akan datang. Falsafah dan nilai-nilai ekonomi yang positif ini tereduksi dalam praktek kenegaraan dan perekonomian nasional, namun di sektor keuangan mikro prinsip ini mengemuka dengan munculnya lembaga keuangan mikro Islam yang dipelopori oleh Muhammad Amin Aziz dalam gerakan ekonominya melalui PINBUK.

Koperasi syariah yang memiliki sasaran masyarakat miskin dengan jumlah populasi terbesar dari bagian masyarakat di negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga (miskin) membutuhkan metodologi pendekatan khusus dalam menjangkau kelompok sasarannya. Masyarakat miskin yang tinggal di sebagaian besar wilayah-wilayah pedesaan dan di daerah pinggiran kota membuat makin sulitnya mereka menjangkau akses infrastrukur kehidupan yang layak. Lembaga keuangan formal yang berlokasi di daerah-daerah perkotaan (pusat kota) hampir di seluruh negara telah menjadi Institusi elit yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin, terutama yang tinggal di wilayah pedesaan.

Lembaga keuangan formal (perbankan) yang sudah mulai masuk ke wilayah pedesaan pun, ternyata mengalami hambatan untuk menjangkau masyarakat miskin akibat tidak bankabel. Kemampuan menjangkau nasabah masyarakat miskin di wilayah yang tersebar di daerah-daerah pedesaan merupakan parameter tersendiri dalam mengukur tingkat keberhasilan (dampak) keuangan mikro dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga akan mengurangi angka kemiskinan. Ada sekitar 95% dari 190 juta masyarakat miskin di wilayah Asia dan Pasifik yang masih belum dapat mengakses jasa keuangan.

Dunia Islam yang berpenduduk lebih 1,2 Miliar orang, tinggal dari wilayah Sinegal sampai Filipina yang meliputi 6 wilayah yaitu Afrika Utara, sub-sahara Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kecuali Asia Tenggara dan Timur Tengah, mayoritas penduduknya berada dalam tingkat kemiskinan yang tinggi, terutama di daerah pedesaan dan masyarakat urban. Indonesia memiliki angka kemiskinan sebesar 17,4% (36,3juta jiwa), Pada sisi lain, keluarga prasejahtera, yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan) juga terus meningkat. Pada 2004, keluarga prasejahtera baru mencapai 12,91 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan pada 2008 sudah mencapai 20,04 persen, sebuah peningkatan yang luar biasa. Dalam rentang waktu empat tahun, orang paling miskin meningkat sekitar tujuh persen. Gambaran tersebut dapat diterjemahkan bahwa jurang pemisah antara yang kaya dan miskin semakin jauh. Dalam catatan IDB dalam kertas kerjanya tahun 2007, ditulis bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia memiliki orang miskin lebih dari separoh penduduknya yaitu 129 juta orang tergolong miskin dengan penghasilan kurang dari US$2 perhari. Dunia di luar anggota IDB yang memiliki penduduk muslim cukup besar seperti India memiliki penduduk muslim sebanyak 180 juta orang dan Rusia sebanyak 28 juta orang.

Keberadaan Koperasi Syariah adalah untuk menjembatani terjadinya lack dan gap antara kebutuhan jasa keuangan masyarakat miskin dengan lembaga keuangan formal. Sehingga masyarakat miskin dapat mengakses jasa keuangan baik pembiayaan, tabungan, asuransi maupun jasa keuangan lainnya. Melalui berbagai layanan jasa keuangan yang dimiliki oleh keuangan mikro, orang miskin diharapkan mampu melakukan investasi, memperoleh penghasilan lebih besar, menabung dan menjadi sejahtera kualitas hidupnya.

Best Practice Koperasi Dan UMKM Yang Telah Menerapkan Ekonomi Dan Keuangan Syariah

Penulis mengambil salah satu contoh dari praktek koperasi syariah di Provinsi Jawa Tengah, yaitu KSPPS BaitutTamwil TAMZIS yang merupakan salah salah satu pelopor Baitut Mal wa Tamwil (KSPPS) di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir koperasi ini bertumbuh sangat pesat. Kinerja keuangan KSPPS TAMZIS menunjukkan peningkatan yang signifikan. Aset KSPPS TAMZIS mengalami kenaikan rata-rata 40,7% pertahun. Pertumbuhan aset yang tinggi ini merupakan hasil dari strategi Koperasi dalam menghimpun dan menyalurkan dana. Total simpanan anggota mengalami kenaikan rata-rata sebesar 44,8% pertahun, sedangkan total piutang (pinjaman ke anggota) mengalami kenaikan rata-rata sebesar 40,5%. Tingkat kenaikan rata-rata simpanan lebih tinggi dibandingkan rata-rata piutangnya. Tingkat pertumbuhan yang tidak seimbang ini menimbulkan beban biaya yang terus meningkat karena ada dana yang tidak tersalurkan. Pengurus KSPPS Tamzis mengambil kebijakan pengurangan hutang dan mengalihkan penggunaan modal sendiri dalam mengoperasikan lembaganya.

Keberhasilan pengurus dan pengelola dalam mendorong anggotanya untuk menyimpan dananya di Koperasi tidak terlepas dari strategi penghimpunan dana melalui:

Dr. Ahmad Subagyo (Ketua Umum Indonesia Micro Finance Expert Association)

– Tulisan ini merupakan hasil kerja sama dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro dan Kecil. (adv)

Exit mobile version