Carbon Tax: Wujudkan Green Economy melalui Climate Action SDGs

Carbon-Tax

Skema ilustrasi Carbon Tax. Foto : Youtube PolicyEd

Oleh : *Aurelia Graciella Lim dan Nadira Audrey Rahmaref

INDOPOS.CO.ID – Pajak memegang empat fungsi utama, yaitu fungsi anggaran (budgetair), redistribusi pendapatan, mengatur (regulerend), dan stabilitas. Pada salah satu fungsinya, yakni regulerend, prinsip dari pajak adalah tentang bagaimana mengatur sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pemerintah dapat melaksanakan fungsi mengatur terhadap pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan yang ditetapkan.

Kebijakan fiskal adalah sebuah kebijakan pemerintah di samping kebijakan moneter yang bisa memberikan disintensif untuk sektor usaha yang membutuhkan pengendalian, sektor usaha yang memberi dampak kurang positif terhadap iklim secara umum, dan sektor usaha yang tidak berdampak positif pada pemerataan. Kebijakan fiskal saat ini semakin berperan penting untuk mencapai Sustainable Development Goals yang berkaitan dengan isu perubahan iklim.

Indonesia merupakan negara dengan karakteristik yang unik dan sangat sensitif terhadap perubahan iklim (climate change). Aktivitas sehari-hari dapat meningkatkan 4,3 persen emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global setiap tahunnya.

Temperatur secara umum juga meningkat 0,03 derajat setiap tahunnya dan peningkatan sea level sebesar 0,8-1,2 cm per tahunnya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah action plan untuk kedepannya dan Indonesia sudah memiliki beberapa action plan untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang guna untuk mencapai target yang dikenal dengan Nationally Determined Contribution (NDC).

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan bahwa Indonesia memiliki target untuk mengurangi 31,89 persen pemanasan global dengan penurunan emisi gas rumah kaca tanpa bantuan dari negara lain dan apabila terdapat kontribusi dari negara lain (kerjasama internasional) targetnya menjadi 43,20 persen pada 2023. Dua sektor penyebab pemanasan global yang menjadi fokus utama adalah pada sektor kehutanan (forestry) dan energi serta transportasi.

Terdapat beberapa policy action yang telah dirumuskan oleh pemerintah, yaitu Climate Changes Fiscal Frameworks dan Carbon Pricing Policy yang menggunakan nilai ekonomi karbon. Dalam hal ini, instrumen fiskal menjadi penting, dimana untuk forestry sebesar Rp77,82 triliun (untuk mencapai pengurangan 29 persen pemanasan global) lebih berkaitan dengan konservasi.

Sedangkan untuk carbon pricing, berdasarkan dokumen analisis yang dilakukan oleh OECD, disebutkan bahwa skor nilai ekonomi karbon di Indonesia terbilang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 2 persen. Artinya, untuk menghasilkan karbon di Indonesia sangat murah. Barang dan aktivitas yang menjadi penyebab dan menghasilkan emisi karbon berasal dari sektor energi, kehutanan, transportasi, industri, pertanian, dan limbah (sektor-sektor mitigasi dalam carbon pricing). Energi merupakan sektor yang paling banyak menghasilkan karbon dan sekaligus yang paling mahal.

Istilah the Price of Carbon artinya memberikan nilai ekonomis pada karbon dengan menentukan harga sebenarnya dari suatu karbon. Mekanismenya antara lain berupa sistem trading, pungutan karbon, dan performance-based pricing.

Terkait carbon pricing dimana skor nilai ekonomi karbon di Indonesia tergolong rendah, maka masih perlu dicari tahu terkait cost yang harus dikeluarkan untuk menjaga karbon. Hal tersebut dilakukan melalui dua instrumen, yaitu Carbon Trading (berdagang karbon) dan The Polluter Pay Principle (pungutan karbon) yakni dengan membuat polluter membayar ke negara untuk nantinya negara yang mengadministrasikan serta menggunakannya untuk berbagai kepentingan.

Indonesia telah memiliki regulasi atau Carbon Tax Roadmap yang telah di desain untuk kedepannya. Carbon Tax merupakan bagian dari Carbon Pricing Policy serta harus beriringan dengan Carbon Trading dan Performance Based Financing. Harga untuk karbon tentunya akan berbeda-beda setiap tahunnya dengan mempertimbangkan berbagai faktor.

Adapun yang dikenakan pajak karbon adalah emisi yang berada di atas ‘cap’ dan tidak memiliki izin emisi. Maka, dengan adanya penerapan Carbon Tax dan Carbon Trading diharapkan terdapat perubahan dari yang semula menggunakan fosil menjadi menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan, sehingga lebih murah karena tidak menghasilkan karbon.

Mekanisme Energy Transition Mechanism (ETM) memiliki target yang lebih terkait pada energi, dimana orang dari segala background financing (investor dalam maupun luar negeri) akan membantu pemerintah Indonesia dalam hal transisi energi Indonesia, yakni Carbon Reduction Fund dan Clean Energy Fund.

Hal ini merupakan bentuk dukungan fiskal untuk ETM. Indonesia menjadi first mover di negara berkembang dalam menggunakan kebijakan fiskal untuk mencapai climate change mitigation and adaptation (Fiscal Support for ETM).

Carbon sangat berpengaruh terhadap risiko perubahan iklim. Indonesia perlu menaruh perhatian lebih dan menanggulangi eksternalitas negatif ini. Maka dari itu, dalam menghadapi dampak perubahan iklim, pemerintah memuat pajak karbon (carbon tax) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pajak karbon adalah salah satu contoh bagaimana disinsentif yang diberikan terhadap sektor usaha yang memberi efek tidak baik pada lingkungan.

Carbon tax adalah bagian dari building momentum to stimulate green economy growth. Aspek pajak menjadi sebuah senjata dalam kebijakan fiskal yang bisa diharapkan untuk tata ekonomi menjadi lebih baik dan luas.

Secara khusus, dalam salah satu fungsi pajak yakni regulerend dianggap dapat mendorong inovasi dan investasi. Keterkaitan pajak karbon dengan stakeholder yaitu terhadap pelaku usaha (harus mempertimbangkan kesiapan dan tahapan), berkeadilan, dan efeknya bagi masyarakat luas.

Dengan dilatarbelakangi oleh dampak buruk pada lingkungan yang ditimbulkan oleh revolusi industri dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan, dampak buruk dari aktivitas ekonomi tersebut turut berpengaruh pada perubahan iklim serta aspek sosial.

Hingga akhirnya, United Nations Environment Programme (UNEP) membuat suatu rumusan tentang bagaimana kita tetap memiliki ekonomi yang berkelanjutan dengan tidak mengorbankan lingkungan dan tetap memperhatikan dampak sosial terhadap masyarakat yang dikenal dengan green economy. Maka, menjadi hal yang penting terkait bagaimana tetap memiliki ekonomi yang hijau dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan.

Terdapat tiga pilar utama penopang green economy yang saling berkesinambungan untuk diwujudnyatakan membentuk sebuah keseimbangan, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial yang terdiri dari 15 indikator. Green economy juga memiliki lima prinsip utama yaitu kesejahteraan, keadilan, planet terbatas, efisiensi dan kecukupan, serta pemerintah yang baik.

Strategi Indonesia untuk mewujudkan green economy antara lain melalui pembangunan rendah karbon, kebijakan net zero emissions (NZE), pengembangan mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK), serta dukungan seluruh instrumen kebijakan fiskal melalui penerapan pajak karbon.

Pajak karbon pada dasarnya adalah pajak yang dikenakan atas kegiatan ekonomi yang memiliki eksternalitas negatif dan dijadikan sebagai salah satu instrumen pengendali lingkungan di Indonesia.

Tujuan pajak karbon sendiri dapat terarah pada beberapa aspek. Untuk individu/masyarakat, pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku konsumsi energi masyarakat menjadi lebih ramah lingkungan.

Bagi pelaku usaha/industri diharapkan dapat mengubah perilaku serta proses mereka dalam berproduksi agar juga ramah lingkungan. Selain itu, tujuan lainnya adalah menurunkan emisi karbon sesuai target NDC dna mewujudkan NZE, serta sebagai salah satu instrumen yang digunakan untuk transformasi menuju green economy.

Subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim, yaitu mitigasi adaptasi perubahan iklim.

Beberapa catatan mengenai pajak karbon diantaranya yakni kebijakannya tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi rangkaian paket kebijakan komprehensif menuju transisi ekonomi yang berkelanjutan. Kemudian, pajak karbon menjadi penguat kebijakan fiskal yang pro dengan Sustainable Development Goals (SDGs), sehingga tercipta pajak karbon yang tercantum dalam UU HPP.

Pada green economy, Indonesia sudah mulai bergerak di level membuat kebijakan dan beberapa pelaksana baik di pusat dan daerah untuk green economy ini berevolusi dan mengalami kemajuan. (srv)

*Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Humas Kementerian Keuangan. (2021, November 22). Pajak Karbon dalam UU HPP Bentuk Komitmen Indonesia Atasi Perubahan Iklim. Sekretariat Kabinet. Retrieved Desember 22, 2023, from https://setkab.go.id/pajak-karbon-dalam-uu-hpp-bentuk-komitmen-indonesia-atasi-perubahan-iklim/Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023, September 13).

Wamenkeu : Pajak Karbon Menjadi Instrumen Pasar Karbon Jalan. Kementerian Keuangan. Retrieved Desember 22, 2023, from https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Pajak-Karbon-Menjadi-Instrumen-Pasar-Karbon-Jalan Taxplore FIA UI. (2022, September 30).

Carbon Tax: Building Momentum To Stimulate Green Economy Growth. Taxplore National Seminar 2022 Day 1. Retrieved Desember 20, 2023, from https://www.youtube.com/live/b69WIqK8NPo?si=RqJ1ACV8XRqA0FKt

Exit mobile version