Pasokan Melimpah, Konsumen Gas Dalam Negeri Harus Disiapkan

perta

Webinar Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik, yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Energi di Jakarta, Rabu (28/2/2024). Foto: Tangkapan layar webinar

INDOPOS.CO.ID – Ketersediaan stok gas akan makin besar seiring dengan terus ditemukannya cadangan gas. Bahkan berdasarkan neraca gas bumi 2023-2032 terungkap surplus gas bisa terjadi mulai 2025.

Koordinator Penyiapan Program Migas Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rizal Fajar Muttaqien mengatakan, untuk mengatasi kelebihan pasokan yang sangat berpotensi terjadi mulai 2025 perlu disiapkan calon pembeli gas dari dalam negeri sehingga gas bisa dimanfaatkan tidak langsung dijual atau diekspor.

“Indonesia bakal surplus gas hingga 2035. Pasokan gas nanti ada dari Bontang, Tangguh, serta dari proyek Masela. Ini gasnya bisa juga untuk domestik, terutama pembangkit listrik dan industri,” kata Rizal dalam webinar Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik, yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Energi di Jakarta, Rabu (28/2/2024).

Konektivitas kini menjadi isu utama dalam penyaluran gas di Tanah Air. Menurutnya, Pemerintah sebenarnya sudah berinisiatif mengisi gap antara sumber pasokan gas dan wilayah yang membutuhkan gas. Ini bisa dilihat dari proyek pipa gas transmisi ruas Cirebon-Semarang (Cisem) yang ditargetkan bisa rampung pada Agustus nanti untuk tahap I.

“Sekarang hampir tersambung dari Sumatera hingga ke Jawa,” ucap Rizal.

Kebutuhan gas domestik sebenarnya sudah mengalami pertumbuhan. Penurunan ekspor gas dimulai 2012, sejalan penggunaan gas untuk dalam negeri juga mulai meningkat, namun pertumbuhannya sejak saat itu hanya dikisaran 1 persen setiap tahunnya.

Tahun 2022 dari total produksi gas sebesar 5.474 ribu kaki kubik per hari (MMSCFD) 68 persen di antaranya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sisanya sebesar 32 persen diekspor.

Rizal mengungkapkan gas memiliki peran penting termasuk dalam pemenuhan energi di masa depan. Apalagi dengan emisi yang lebih rendah otomatis dengan peningkatan penggunaan gas maka emisi secara keseluruhan juga bisa ditekan.

“Gas bisa memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi. Setelah 2060 memang sudah tidak ada gas dalam RUPTL tapi masih ada untuk transportasi. Untuk industri dan gas ini sumber daya energi yang bersih,” terangnya.

Harga Gas Murah

Akibat harga gas bumi murah atau Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) kepada tujuh sektor industri telah berdampak pada berkurangnya penerimaan negara.

Deputi Keuangan dan Komersialisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Kurnia Chairi, mencatat penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar USD6 per Million British Thermal Unit (MMBTU) lebih dari USD1 miliar atau sekitar Rp15,68 triliun.

Namun menurut Koordinator Program Migas, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Rizal Fajar Muttaqien, menyebutkan pihaknya masih harus mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan itu.

“Kementerian Perindustrian juga sudah mengusulkan usulan untuk perpanjangan atau keberlanjutan kebijakan HGBT, hanya kami dari Kementerian ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan selama ini,” jelasnya.

Sementara itu, Chairman Indonesia Gas Sociaty (IGS) Aris Mulya membeberkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam pengembangan gas dalam negeri. Menurutnya, tantangan yang dimaksud berasal dari sektor hulu, hilir, hingga regulasi.

Dari sektor hulu, Aris menyebut tingginya risiko pengembangan hulu migas berdampak rendahnya investasi yang masuk.

“Kita tahu sektor hulu merupakan pengembangan industri yang berisiko tinggi dan berdampak pada bagaimana mengundang investor masuk dalam usaha industri hulu,” tuturnya.

Sedangkan, Kepalan Satuan Pengembangan Teknologi dan Managemen Aset PT PLN Indonesia Power (PLN IP) Tarwaji Warsokusumo mengatakan, Duck Curve yang terjadi di Amerika Serikat jangan pula terjadi di Indonesia.

PLN harus bisa memberikan kehandalannya dalam memproduksi daya listrinya, tentunya dengan meningkatkan kapasitas PLTGU agar daya listrik bisa, untuk itu kita harus membutuhkan pembnagkit yang begitu cepat respon di California sendiri membutuhkan pembangkit 13 ribu Megawatt (MW) untuk menstabilkan jaringan interkoneksi.

Tarwaji menilai Indonesia harus menyediakan pembangkit-pembangkit yang mempunyai fleksibilitas dalam menangan beban minimum dan maksimum. Sebab dengan kemampuan fleksibilitas ini, dapat terhindar dari bangkrut.

“Nah ini persolan pelik yang kita sediakan sebagai provider. Kalau hanya mengunakan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) saja kita hanya bisa masuk 5 MB per menit ini sangat lambat. Sehingga kita butuhkan pembangkit listrik sejenis PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) yang bisa merespon sekitar 88 MW per menitnya,” tegasnya. (rmn)

Exit mobile version