INDOPOS.CO.ID – Meski peluh bercucuran di wajahnya, Rizky Sunandar, tetap bergerak gesit memindahkan puluhan bal pakaian jadi ke atas mobil pick up hitam yang terparkir di halaman kios konveksinya.
Pagi itu, tempat usaha yang juga rumah kediamannya itu begitu sibuk mengirim 12.000 potong pakaian yang dikemas dalam 120 bal ke sejumlah pusat perdagangan di Jakarta. Dibantu empat pegawainya, dia memindahkan dan menata ratusan bal pakaian itu supaya muat ke bak pick up. Setelah semua tertata rapi di bak, para pegawai lalu menutup dengan kain terpal biru untuk keamanan selama perjalanan.
“Paling banyak dikirim ke (Pasar) Tanah Abang, sisanya ke Pasar Uler Jakarta Utara, ada juga ke beberapa pasar di Jakarta Timur, Tangerang dan Bekasi,” kata Rizky kepada indopos.co.id yang menemui di koveksinya di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Rasa lelahnya tertutup oleh kebahagiaan ‘cuan’ yang akan dia terima atas pesanan pakaian yang dia produksi.
Rizky sudah menjalani bisnis konveksinya sejak 15 tahun lalu meneruskan usaha orangtuanya. Namun, beban berat harus dia rasakan mengingat di tahun 2019an awal usaha konveksinya mengalami cobaan berat. Tidak lama setelah Rizky memegang kendali usaha, bisnisnya melambat secara pelan tapi pasti. “Masa paling berat terjadi 5-6 tahun belakangan ini,” katanya.
Pukulan telak atas bisnisnya terjadi ketika fenomena pakain bekas impor merajalela memasuki pasar Indonesia. Pakaian bermerk bekas masuk ke toko dan pusat belanja dengan harga murah.
“Saya benar-benar putus asa waktu itu, dengan sangat berat hati saya sampai merumahkan 10 dari 15 pegawai. Bahkan pegawai yang masih bertahan sempat tidak gajian hingga 2 bulan. Kami benar-benar hidup prihatin,” katanya.
Belum lagi hantaman pandemi Covid-19 yang menggerus daya beli masyarakat. Usahanya benar-benar sekarat, hidup segan mati tak mau.
Biasanya dia mampu memproduksi 1.000 potong pakaian setiap bulan. Namun, sejak serbuan pakaian bekas impor ilegal, barang produksinya tidak laku karena kalah saing.
Namun pria asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini tidak putus asa. Dengan keteguhan dan kesabaran, ayah dua anak ini terus menekuni usahanya dengan tidak berhenti memproduksi berbagai jenis pakaian. Seperti baju lengan pendek, kaos, celana pendek, celana kolor, dan celana panjang kulot. “Sampai berbulan-bulan tidak laku, barang sampai menumpuk di gudang,” katanya.
Dia mengakui musuh utama bisnisnya dan juga rekan-rekannya sesama pengusaha konveksi rumahan lainnya adalah barang thrifting atau pakain bekas. “Karena target pasar kita sama, pakaian murah untuk dipakai keseharian,” katanya.
Asanya mulai muncul setelah pelan tapi pasti dominasi pakain impor bekas ilegal mulai banyak yang disita dan dimusnahkan Bea Cukai dan aparat terkait. Sehingga otomatis pakaian yang diproduksi Rizky bisa terserap pasar.
“Karena toko harus jualan, barang impor bekas sudah susah masuk. Alhamdulillah akhirnya kini produksi kami bisa masuk pasar,” kata Rizky yang ceria.
Dia berharap pemerintah, dalam hal ini Bea Cukai dan aparat terkait tidak mengendorkan pengawasan barang-barang impor ilegal supaya tidak masuk Indonesia.
Kini semangat memproduksi pakaian muncul lagi seiring mulai masuknya pesanan dari berbagai pasar dan toko.
“Sekarang memang masih ada pakaian impor bekas di pasaran tapi jumlahnya mulai berkurang. Bayangkan kalau benar-benar dibasmi habis, alangkah bahagianya kami pengusaha konveksi rumahan. Semoga petugas Bea Cukai dan aparat terkait istiqomah mengawal pencegahan pakaian bekas impor ilegal supaya tidak masuk pasar Indonesia,” harapnya.
Ancaman Serius
Pemerintah telah menyatakan ‘perang’ terhadap pakain bekas impor ilegal. Impor baju bekas juga sudah dilarang pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022.
Sudah ribuan kali penyelundupan pakaian bekas impor digagalkan lalu dimusnahkan aparat gabungan Bea Cukai, Polri dan kementerian perdagangan. Namun usaha penyelundupan barang thrifting itu masih saja terjadi.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah memetakan sejumlah wilayah pengawasan guna mencegah impor pakaian bekas ilegal masuk ke Indonesia.
Dikatakan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Askolani, pencegahan impor pakaian bekas difokuskan di wilayah pesisir timur Sumatera, Batam, dan Kepulauan Riau. Selain itu, pelabuhan-pelabuhan tikus yang jumlahnya sangat banyak menjadi perhatian.
Selain itu, Bea Cukai juga memperketat pengawasan di sejumlah pelabuhan utama di Indonesia, seperti Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Tanjung Mas (Semarang), hingga Pelabuhan Belawan (Medan).
Menurut data Bea Cukai, barang bekas impor ilegal mayoritas berasal dari negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand. Adapun barang-barang bekas impor beragam jenis dari pakaian hingga tas.
“Modusnya, komoditi pakaian bekas diselipkan di antara barang lainnya,” kata Askolani. Untuk itu, Bea Cukai memperkuat koordinasi dengan aparat terkait untuk terus fokus dan konsisten mengawasi dan mencegah barang selundupan pakaian bekas masuk Indonesia.
Sementara itu, menurut Plt Deputi Bidang UKM KemenKopUKM, Temmy Setya Permana, beberapa kajian dan data berbagai sumber memperlihatkan serbuan barang impor ilegal terutama dari China memberikan dampak serius bagi Indonesia.
“Hal ini bisa menyebabkan deindustrialisasi di Indonesia. Bahkan gejalanya telah terlihat dari tahun 2015 hingga 2023,” kata Temmy.
Pada 10 tahun lalu, sektor industri pengolahan masih mencatatkan andil terhadap PDB Indonesia di atas 20 persen per tahun. Namun, lima tahun kemudian, nilainya turun di bawah 20 persen. Tren ini baru dua kali terjadi dalam 10 tahun terakhir.
Temmy menyebut impor ilegal pakaian bekas menjadi ancaman serius industri rumah tangga konveksi di tanah air. Impor ilegal ini berpotensi menyebabkan kehilangan serapan 67 ribu tenaga kerja dengan total pendapatan karyawan Rp2 triliun per tahun, serta kehilangan potensi PDB multi sektor TPT sebesar Rp11,83 triliun per tahun. (bro)