INDOPOS.CO.ID – Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia (Aprindo) dihadapkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No.28 tahun 2024 tentang Kesehatan dan turunannya Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Regulasi tersebut mencampuradukkan urusan kesehatan dengan ekonomi.
Pernyataan tersebut diungkapkan Ketum Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey saat diskusi di Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Ia mencontohkan, pada pasal PP 28/2024 terkait zonasi pedagang rokok dari pusat pendidikan sejauh 200 Meter (M). Pasal tersebut jelas bermuatan ekonomi.
“Kami minta klarifikasi kepada pemerintah, ini harus transparan,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga harus menjelaskan terkait pusat pendidikan dalam pasal zonasi. Sebab, pasal tersebut dinilai ambigu.
“Pusat pendidikan ini harus didefinisikan transparan. Jelas sekali pasal ini ambigu,” terangnya.
Ia berharap, pemerintah sebaiknya melakukan analisis mendalam sebelum memberlakukan regulasi. Jangan sampai ke depan regulasi tersebut menuai polemik.
“Jangan sampai regulasi bukan menyelesaikan masalah, tetapi muncul masalah baru,” ucapnya.
Ia menambahkan, omset pengusaha ritel dari penjualan produk tembakau mencapai Rp40 triliun atau 6-7 persen dari total penjualan produk sembako.
“Pemerintah sebaiknya memberikan literasi terkait bahaya rokok, bukan melarang seperti saat ini,” imbuhnya.
Sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) No.28 tahun 2024 tentang Kesehatan yang diturunkan ke dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, terutama pada pasal-pasal terkait Industri Hasil Tembakau dinilai merugikan masyarakat. Baik petani, industri ritel dan pedagang kecil. (nas)