INDOPOS.CO.ID – Tren tinggal di hunian vertikal (high rise building) diprediksi kian menguat seiring kegandrungan konsumen kepada tempat tinggal terintegrasi dan berkelanjutan.
Penerapan ESG (environment, social, and governance) atau konsep pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola merupakan tiga pilar penting dalam menilai performa bisnis properti saat ini. Oleh karenanya, sudah menjadi keharusan untuk diaplikasikan.
ESG digunakan sebagai indikator pelaporan aktivitas nofinansial dari suatu produk yang diinvestasikan (pengembangan properti). Dalam beberapa tahun terakhir, penerapan ESG sudah menjadi fokus pengembang properti di Tanah Air seiring dengan tren konsumen yang mengarah kepada produk berkelanjutan.
Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia Adriadi Dimastanto mengatakan, pasar terbesar dan potensial dalam sebuah proyek properti adalah Gen Z dan milenial. Segmen ini, kata dia, sangat tertarik dan peduli (aware) terhadap produk properti yang mengedepankan keberlanjutan.
“Mereka cukup detail dalam melihat fasilitas-fasilitas yang ada di sekitar proyek properti seperti ruang terbuka hijau, ruang interaksi, sarana olahraga untuk jogging dan lainnya,” ucap Adriadi.
Menurut dia, saat ini pengembang properti sudah sangat concern dengan apa yang diinginkan masyarakat terkait kebutuhan tempat tinggal yang berkelanjutan.
Adriadi menambahkan, saat ini penerapan prinsip ESG bermanfaat untuk nilai investasi.
“Dalam pengembangan properti berprinsip ESG, selain memberikan kelestarian lingkungan dan tata kelola yang baik, juga memberikan manfaat ekonomi,” tuturnya.
Hunian Vertikal
Chief Executive Officer (CEO) Leads Property Service Indonesia Hendra Hartono mengatakan, di kawasan berkonsep township development saat ini harga landed house sudah tinggi.
“Seperti di kawasan Alam Sutera, rumah yang harga di bawah Rp5 miliar sudah nyaris tidak ada, bahkan ada yang sudah menyentuh Rp16 miliar. Ke depan, tren di kawasan ini ke high rise building,” jelas Hendra yang menegaskan bahwa tren pasar kondominium di kawasan Tangerang yang tengah berlangsung saat ini setidaknya ditopang oleh tiga aspek.
Pertama, kedekatan dengan akses jalan tol. Aspek ini menjadi salah satu pertimbangan utama para calon pembeli.
“Lalu, kondominium yang dekat dengan kampus dan di kawasan mixed-use akan lebih diminati bagi mahasiswa, terutama yang memiliki keluarga berasal dari luar kota,” tutur Hendra.
Ketiga, jelasnya, area yang sudah well established atau berbasis township, dan dekat dengan akses transportasi umum seperti kereta komuter menjadi daya tarik pembeli kondominium.
Dalam kajian Leads Property terlihat bahwa saat ini, kisaran harga jual kondominium segmen atas dibanderol berkisar Rp30-50 juta/meter persegi (m2). Untuk luasan di segmen ini adalah direntang 50 m2 hingga 133 m2.
Lalu, untuk segmen middle up, yakni direntang luas 43 m2-294 m2 dibanderol berkisar Rp22 juta/m2 hingga Rp30 juta/m2. Kemudian segmen middle 21 m2-92 m2 memasang harga Rp16-22 juta/m2. Selain itu, untuk middle low yang seluas 23 m2 hingga 87 m2 dibanderol kurang dari Rp16 juta/m2.
“Saat ini, di Tangerang mayoritas kondominium adalah di segmen middle, yakni sekitar 60,9% dari total pasokan yang secara kumulatif sebanyak 121.372 unit,” jelas Hendra.
Sementara itu, Chief Marketing Officer (CMO) Elevee Condominium Alvin Andronicus mengatakan, saat ini, masyarakat gandrung tinggal di tempat yang sudah lengkap dan akses transportasi bagus, serta fasilitas yang lengkap.
“Alam Sutera yang dikembangkan sejak lama dengan luas lahan 800 hektare sudah memiliki fasilitas lengkap,” ujar dia.
Kini, tambahnya, tren orang tinggal di tempat baru dengan fasilitas lengkap, serta kawasan yang back to nature atau alami serta transportasi yang mudah terjangkau.
“Elevee Condominium luasannya seperti rumah tapak dan terletak di kawasan yang sudah lengkap. Alam Sutera sejak awal dibangun mengusung konsep hijau alami (nature green living),” paparnya.
Elevee Condominium adalah hunian vertikal yang dilengkapi dengan beragam fasilitas untuk kebutuhan penghuninya, termasuk forest park seluas 4 hektare.
Alvin menambahkan, selaku developer, Alam Sutera menerapkan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (environment, social, and governance/ESG), yakni bisnis bertanggung jawab yang tidak merusak lingkungan.
“Masyarakat juga gandrung dengan pembangunan yang berkelanjutan seiring prinsip reduce, reuse, dan recycle. Tidak merusak alam,” papar Alvin.
Sementara Adriadi menyatakan, seperti Alam Sutera sudah sangat advance dalam pengembangannya, dan ini perlu pendanaan besar dalam pengembangannya.
“Sekali lagi saya tegaskan ujungnya selain konsep suistainble development yang dikembangkannya, konsumen pun diuntungkan karena nilai properti akan terus naik,” tegasnya.
Dia mengakui pengembangan properti skala kota atau township development yang menerapkan prinsip ESG membutuhkan dana yang tak sedikit. Namun, kata dia, prinsip ini akan berdampak pada penjualan pengembang dan bermanfaat untuk konsumen. (ibs)