INDOPOS.CO.ID – Bisa jadi, banyak yang salah paham tentang bank sampah. Pasalnya, kata “bank” sudah terasosiasi dengan kegiatan yang bersifat menyimpan sesuatu. Di benak sebagian masyakat awam, pembangunan bank sampah berarti kegiatan mengumpulkan atau menumpuk sampah. Bank sampah sama dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Salah pemahaman itu pernah terjadi di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat pada 2016. Saat itu, PT Kilang Pertamina Internasional Unit Balongan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan berencana mendirikan bank sampah di sekitar Desa Balongan. Masyarakat sontak menolak program tersebut. Mereka mendatangi kantor Humas Kilang Balongan, memblokade jalan, dan menuntut agar program bank sampah dibatalkan.
Matori, atau yang akrab disapa Mamat, sebagai pamong desa dan aktivis buruh minyak dan gas bumi (migas), memimpin aksi demonstrasi tersebut. Mereka merasa bahwa program tersebut tidak akan membawa manfaat, berdampak negatif pada lingkungan masyarakat serta dapat menimbulkan berbagai penyakit.
“Lebih baik membangun Bank BRI daripada bangun Bank Sampah. Merusak lingkungan masyarakat saja,” ujar Mamat, mengenang saat-saat demo tersebut.
Pihak KPI Unit Balongan kemudian melakukan pendekatan secara bertahap untuk mengatasi persoalan tersebut. Pada 2016, perusahaan melakukan penelitian social mapping untuk memahami dinamika dan kebutuhan masyarakat. Dari hasil penelitian tersebut, perusahaan menyadari pentingnya mediasi langsung dengan berbagai pihak yang ada di Balongan.
Mediasi dilakukan melalui diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion/FGD). Tokoh-tokoh masyarakat, termasuk pemimpin desa, tokoh agama, dan aktivis seperti Mamat hadir dalam kegiatan tersebut.
KPI Unit Balongan menyampaikan visi dan misi bank sampah dengan jelas kepada masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan. Akhirnya, Mamat dan masyarakat yang sebelumnya paling lantang menentang pembangunan bank sampah berbalik sikap mendukung dan proaktif mensosialisasikan bank sampah kepada masyarakat.
“Perusahaan menyadari Mamat dipandang sebagai aktor potensial yang dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya,” kata Area Manager Communication, Relation and CSR PT KPI Unit Balongan Mohamad Zulkifli.
Desa Balongan terletak di tepi Laut Jawa. Pemandangannya sebenarnya cukup indah. Kehidupan masyarakat mayoritas sebagai nelayan. Di tengah kehidupan desa yang sederhana, berdiri kilang Balongan sejak 1994 sampai sekarang. Perusahaan berusaha menjangkau masyarakat lewat berbagai program CSR yang bermanfaat untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan di sekitar Balongan.
Salah satu masalah yang muncul adalah sampah yang bertumpuk mengotori lingkungan, terutama di area sungai dan daratan sekitarnya. Mamat, yang telah berkomunikasi intens dengan KPI Unit Balongan, mendiskusikan cara menangani sampah tersebut. Hasil diskusi mengerucut pada pemahaman bahwa permasalahan sampah hanya dapat diatasi dengan partisipasi seluruh warga masyarakat.
Akhirnya, Mamat disarankan untuk membentuk kelompok masyarakat yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki visi misi yang sama untuk menjaga lingkungan.
Pada 2016, Mamat bersama 9 orang warga Balongan membentuk kelompok Bank Sampah Widara, gagasan yang dahulu pernah didemo olehnya. Kata “Widara” diambil sebagai penanda bahwa bank sampah itu dilahirkan dari musyawarah kelompok yang berkumpul di bawah pohon bidara. Bank sampah itu kemudian menjadi kelompok binaan KPI Unit Balongan.
“Di Desa Balongan banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan, membakar sampah, serta minim fasilitas pengelolaan sampah terpadu seperti tong sampah, tempat pembuangan sementara, dan belum adanya sistem pengumpulan sampah yang baik. Masyarakat juga belum paham mengenai konsep mengolah sampah dapat menjadi jalan rezeki karena dapat menghasilkan nilai ekonomi,” jelas Mamat.
Pada tahap awal operasional Bank Sampah Widara, Mamat dan kelompok menginisiasi banyak kegiatan pengelolaan lingkungan dan pengurangan sampah terintegrasi. Mereka menargetkan tujuan untuk menjadi pelopor penggerak kampung bebas sampah.
Aktivitas kelompok ini terus berkembang hingga Mamat mempelopori terbentuknya Wilayah Pengelolaan Daur Ulang Sampah yang dikenal dengan Wiralodra pada 2019. Fokus utama kelompok ditahun pertama adalah kegiatan penanganan sampah organik melalui budidaya maggot BSF (Black Soldier Fly).
Kelompok Wiralodra didampingi tim CSR KPI Unit Balongan terus melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat yang masih ragu untuk terlibat dalam pengelolaan sampah. Kemampuan kelompok mendaur ulang sampah ditingkatkan lewat berbagai pelatihan. Berbagai program kelompok, seperti Semur Tumpah (Sembako Murah Tukar Sampah) mulai menarik perhatian warga.
Sampah-sampah bernilai ekonomi seperti botol plastik, kertas, besi, perabot bekas, dan minyak jelantah ditukarkan dengan sembako murah seperti beras, telur, kopi, teh, minyak goreng, mie, dan gula. “Kegiatan ini telah menjadi favorit ibu-ibu rumah tangga karena menjadi tambahan pemenuhan kebutuhan dapur dan keluarga,” kata Mamat.
Saat pandemi Covid-19 yang melanda di awal 2020, fasilitas aula bank sampah menjadi tempat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) bagi siswa sekolah. Kelompok Wiralodra menggagas layanan ‘Sampah Tukar Wi-Fi sepanjang masa pandemi. Tidak kurang 50 anak setiap harinya memanfaatkan layanan Internet gratis ini dengan hanya bermodalkan sampah.
Pada pertengahan 2020, Mamat dan Kelompok Wiralodra telah mampu mengolah sampah sebanyak 100 kilogram setiap bulannya. Sampah yang diperoleh adalah hasil dari setoran warga sekitar RT 04, RW 02 Desa Balongan saja.
Namun, setahun kemudian terjadi peningkatan pendapatan sampah dan dimulailah pemindahan lokasi pengelolaan sampah terpadu ke tempat yang lebih luas yang disponsori oleh kilang Balongan. Bangunan yang dimiliki oleh Kelompok Wiralodra sekarang seluas 5×10 m2 dan mampu mengolah sampah 240 kg/bulan yang dikumpulkan dari seluruh wilayah RW 02 serta beberapa warung di pasar terdekat.
Pada 2022-2023, setelah mencapai target pengolahan sampah organik, Mamat dan kelompok berinovasi dengan menambah ekonomi sirkular dari budidaya maggot dengan beternak ayam petelur. Pakan tambahanya diambil dari hasil budidaya maggot tersebut.
Untuk meningkatkan nilai ekonomi, perusahaan bersama kelompok melakukan inovasi dengan mengoptimalkan pengolahan sampah plastik menjadi plakat, souvenir, atau furnitur untuk perusahaan maupun masyarakat yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan hanya dengan menjual cacahan atau plastik secara langsung ke pengepul.
Untuk meningkatkan efektivitas produksi pengolahan sampah plastik menjadi plakat, pada 2023 kelompok Wiralodra dan tim CSR KPI Unit Balongan terus melakukan inovasi menciptakan kompor berbahan dasar minyak jelantah yang di desain khusus untuk mempermudah kegiatan kelompok.
“Selain menghemat biaya produksi kompor ini membantu pedagang dan UMKM sekitar untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan turut membantu menjaga lingkungan,” ungkap Mamat.
Upaya mengelola sampah semakin berkembang dengan keterlibatan kelompok lokal Masyarakat Forum Rembug Balongan (Forbal). Forum masyarakat ini merupakan kelompok yang juga fokus pada permasalahan lingkungan dan mitigasi bencana. Kelompok Wiralodra dan Forbal bekerja sama menanam pohon cemara laut di sekitar Pantai Balongan untuk mencegah dan meminimalisasi abrasi pantai.
“Penanaman pohon cemara laut merupakan bukti KPI Unit Balongan yang memiliki komitmen kuat dalam upaya melindungi lingkungan dari potensi perubahan iklim dan cuaca di masa depan. Penanaman Cemara Laut ini sangat tepat sebab ketika tumbuh besar selain memperindah lingkungan juga dapat menghambat laju abrasi dan terjangan ombak,” ujar Ketua Forbal, Sumarto.(ibs)