Diabetes Penyakit Mematikan Urutan ke Tiga

diabetes

Para pemateri konferensi pers Hari Hipertensi Sedunia tahun 2022. Foto: Ist

INDOPOS.CO.ID – Dalam rangka memperingati Hari Hipertensi Sedunia tahun 2022, Aliansi PTM Indonesia bersama koalisi masyarakat menyampaikan tuntutan akan pentingnya kehadiran kebijakan pengendalian penyakit tidak menular (PTM). Hal itu disampaikan melalui konferensi pers secara daring, Rabu, (18/5/2022) dengan tema Pengendalian Faktor Risiko PTM untuk Indonesia yang Lebih Sehat.

“Dari grafik satu kajian mengatakan saat ini diabetes menempati posisi ke tiga penyakit mematikan di Indonesia. Indonesia punya peran penting memberikan contoh baik dalam pengendalian penyakit di kancah global. Peran ini dapat dimulai dengan kebijakan pengendalian faktor risiko PTM seperti menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan segera menyelesaikan revisi PP 109/ 2012 dalam pengendalian produk zat adiktif tembakau,” kata Dr Ade Meidian Ambari SpJP(K), Sekretaris Umum Aliansi PTM.

Setidaknya dalam satu dekade terakhir penyakit tidak menular menjadi penyebab kematian terbesar penduduk dunia menggantikan penyakit infeksi. Mulai dari stroke, serangan jantung, dan diabetes.

Tingginya prevalensi penyakit tidak menular juga turut membebani ekonomi negara-negara dan menghambat pembangunan.

Karena sifatnya yang kronis atau menahun dan tidak memberikan dampak kesehatan seketika, umumnya masyarakat tidak sadar bahwa perilaku mereka berisiko pada penyakit tidak menular (PTM). Misalnya, konsumsi makanan dan minuman dengan kandungan gula, garam, dan lemak yang tinggi, konsumsi rokok, asupan sayur dan buah yang rendah, serta tidak berolahraga. Perilaku ini berkontribusi pada penyakit tidak menular.

Di Indonesia, prevalensi obesitas pada kelompok dewasa, misalnya, meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu satu dekade terakhir, dari 10,50 persen pada 2007 menjadi 21,80 persen pada 2018 (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas). Sedangkan prevalesi obesitas pada anak usia 5–12 tahun mencapai 18,8% dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat obesitas pada anak tertinggi di wilayah ASEAN (WHO). Kemudian angka kesakitan akibat diabetes juga berdampak luas. Sebanyak 19,5 juta orang penduduk Indonesia merupakan penderita diabetes yang seumur hidupnya harus menjalani pengobatan dengan biaya yang tidak sedikit. Negara setidaknya harus menanggung sebesar Rp 21,2 triliun untuk membiayai terapi penyakit ini (IDF Diabetes Atlas). Diabetes merupakan penyebab kematian tertinggi nomor 3 di Indonesia.

“Akses pelayanan diabetes dan penyakit tidak menular lainnya yang menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat akan memberikan kepastian bagi penyitas PTM untuk menjalani hidup yang terbaik bersama penyakit yang dimilikinya,” tutur Anita Sabidi, anggota Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia).

Selain itu, sekitar 52,7 persen penduduk Indonesia mengonsumsi natrium >2000 mg/hari atau melebihi batas yang dianjurkan. Rata-rata asupan natrium penduduk Indonesia mencapai 2.764 mg/orang/hari. Sebanyak 73 persen natrium yang dikonsumsi berasal dari makanan yang dimasak di rumah dan 23 persen dari makanan yang dibeli di luar rumah.

Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH sebagai Ketua Bidang Edukasi Publik dan Pemberdayaan Masyarakat Komnas PT menyampaikan, “Untuk mencegah penyakit tidak menular, tidak ada cara lain selain dengan menghindari faktor risikonya. Upaya ini tidak cukup hanya dengan promosi dan edukasi kesehatan saja, harus ada kebijakan yang secara komprehensif yang mengatur,”katanya.

Itu sebabnya, menghindari faktor risiko penyakit tidak menular perlu intervensi kebijakan pemerintah yang lebih tegas. Instrumen pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular melalui kebijakan berbasis bukti menjadi wujud hadirnya negara untuk menjamin hak kesehatan warganya. Salah satu instrumen pengendalian faktor risiko yang efektif, terutama untuk konsumsi makanan dan minuman berpemanis serta rokok, adalah cukai. Instrumen fiskal ini diyakini efektif menurunkan konsumsi gula berlebih dan konsumsi rokok. Di saat yang sama, hasil cukai yang terkumpul bisa menjadi sumber tambahan pembiayaan kesehatan pemerintah.

“Cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) menjadi pilihan intervensi yang efektif untuk mentransformasi pola konsumsi masyarakat. Kebijakan ini harus diterapkan pada semua produk MBDK tanpa kecuali dan secara serentak,” tutur Gita Kusnadi Plt. Manajer Riset CISDI.

Pemerintah saat ini sedang memperkuat peraturan pencegahan dan pengendalian konsumsi zat adiktif melalui revisi PP 109 tahun 2022. Kemenkes melalui P2PTM juga menginisiasi untuk mulai melakukan pengaturan terhadap cukai MBDK melalui bersurat kepada Kemenkeu agar kebijakan ini bisa segera dilaksanakan. “Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh Kementerian Kesehatan, harus bersama K/L yang terkait lainnya.” papar dr. Elvieda Sariwati, M.Epid selaku Plt Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI. (ney)

Exit mobile version