Orang Tua Perlu Lakukan Koping yang Tepat Hadapi Masalah Bullying Anak

Webinar-YPUI

Webinar dengan tema "Bagaimana Orang tua Menyikapi Perundungan, Baik Anak yang Menjadi Korban Maupun yang Menjadi Pelaku," yang diselenggarakan oleh Yayasan Psikologi Unggulan Indonesia (YPUI), Jumat (7/10/2022). Foto: Ist for indopos.co.id

INDOPOS.CO.ID – Perundungan atau bullying biasanya dilakukan dengan sengaja, berulang dan dilakukan oleh pihak yang dianggap lebih lemah, yang disebabkan oleh rasa benci, iri, dendam atau adanya hierarki tidak resmi di sekolah. Misalnya jenis kelamin, ras, budaya, agama, anak berkebutuhan khusus ataupun prestasi akademis/non akademis.

Untuk anak taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) mengadu pada orang tuanya bila mengalami perundungan tetapi anak remaja, tidak demikian.

Dampak dari perundungan bagi korban perundungan bisa sangat parah, mulai dari merasa tertekan dan ketakutan, trauma, konsentrasi belajar terganggu, tidak mau sekolah, psikosomatis, malu, harga diri hancur, tidak percaya diri, menarik diri dari pergaulan, marah pada diri sendiri dan lingkungan, sampai pada depresi dan bunuh diri.

Namun dampaknya pada pelaku perundung sendiri pun tak kurang negatifnya. Pada perundung, bisa terbentuk kepercayaan diri semu dan menganggap kekuasaan adalah segalanya.

“Mereka cepat marah dan sulit mengendalikan emosinya terutama bila keinginannya tidak terpenuhi. Bahkan bisa berkembang pada perilaku agresif lainnya yang mana akan merugikan masa depannya. Kecakapan sosial dan prososialnya rendah. Biasanya mereka bisa tidak mempunyai empati, toleransi dan rasa menghargai orang lain. Prestasi belajarnya pun bisa terganggu karena terobsesi pada keunggulan fisik dan popularitas,” kata Psikolog Dharmayati B Utoyo Lubis dalam seri webinar kedua dengan judul: “Bagaimana Orang tua Menyikapi Perundungan Baik Anak yang Menjadi Korban Maupun yang Menjadi Pelaku,” yang diselenggarakan oleh Yayasan Psikologi Unggulan Indonesia (YPUI), Jumat (7/10/2022).

Ia mengatakan bahwa cara orang tua menyikapinya pun bervariasi, mulai dari tidak percaya, acuh tak acuh karena menganggap itu adalah urusan sekolah. Tidak bisa membedakan antara bercanda dan perundungan, sampai pada menyalahkan korban atau bahkan marah pada semua pihak.

“Menghadapi kasus perundungan dimana anaknya yang menjadi korban, sebaiknya orang tua jeli menangkap perubahan perilaku, sikap dan emosi anaknya. Sikapi perundungan dengan kepala dingin, tidak emosional dan objektif. Cari kebenaran beritanya sehingga yakin apakah memang betul kasus perundungan, bukan hanya pertengkaran ataupun perkelahian. Jangan lupa juga untuk melakukan introspeksi, apakah orang tua selama ini sudah menjadi model perilaku yang tepat bagi anaknya,” ungkap Dharmayati.

Orang tua perlu melakukan koping yang tepat terhadap masalah perundungan ini, pertama adalah dengan bicara hati ke hati dengan anaknya.

Untuk itu, kata Dharmayati, orang tua harus mau mendengar anak (listening) bukan hearing yaitu mendengarkan verbalisasi anak, melihat ekspresi anak, melakukan parafrase, mencerna kata-kata anak dan menangkap perasaan anak. Jadi dengarkan perasaan anak ketika dirundung dan beri dukungan agar anak dapat mengeluarkan unek-uneknya.

“Jangan marah, mengecam atau menyalahkannya. Orang tua anak yang melakukan perundungan pun, jangan marah, mengecam dan langsung menyalahkannya. Dengarkan dulu apa motivasinya, mengapa ia merasa perlu menunjukkan otoritasnya melalui kekerasan fisik, verbal dan emosional. Dengarkan juga, mengapa ia memilih target si korban,” tuturnya.

“Sebagai strategi koping, orang tua perlu mendukung keterusterangan anaknya, beri dukungan emosi pada anak, usahakan untuk mengurangi stres anak. Bangkitkan self esteem dan perilaku prososial anak. Hindari bersitegang dengan anak,” tambahnya.

Berdasarkan hasil penelitian Ratna Djuwita, dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) pada 2016, ternyata para orang tua pun membutuhkan adanya wadah di mana mereka bisa saling sharing, bisa mendapatkan bantuan dan saran serta berkomunikasi dengan orang tua lain dan guru, agar mereka bisa menyikapi masalah perundungan dengan lebih bijak.

“Masih dari hasil penelitian ini pun, orang tua merasa peran guru dan sekolah sangat besar dalam meminimalisir dan menghilangkan perilaku perundungan. Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama antara orang tua, sekolah dan masyarakat dalam penanggulangan masalah perundungan,” ujarnya.

Sementara itu, Psikolog Juke R Siregar, memaparkan mengenai bagaimana menciptakan rasa aman dan menyikapi perundungan anak dan remaja di sekolah.

Menurutnya, perundungan itu selalu ada, namun tidak bisa dibiarkan, karena bila intensitasnya meningkat maka akan berkembang ke arah yang lebih negatif.

“Oleh karena itu memang orang tua, sekolah, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar anak, yaitu kebutuhan akan rasa aman. Setiap anak berhak untuk dipenuhi kebutuhannya akan rasa aman.
Karena sebagian besar waktu anak berada di sekolah, maka sekolah memegang peranan yang sangat penting,” katanya.

Ia mengarakan, sekolah merupakan wadah anak dan remaja mengekspresikan diri dan belajar hidup berkelompok. Sekolah pun merupakan kumpulan orang dewasa yaitu personel sekolah yang mampu mengembangkan potensi, keterampilan sosial, emosi, nilai serta mampu bahkan wajib menciptakan lingkungan yang aman.

Untuk mengembangkan itu semua, sekolah secara internal bertujuan memantapkan norma sosial, mengembangkan tingkah laku prososial dan menghentikan perundungan.

Untuk itu, sekolah dapat membentuk tim prevensi, tim guru yang terlatih seperti misalnya counselor atau guru yang mengerti tentang perkembangan anak dan tentang perundungan. Selain itu juga dibentuk tim agen perubahan yang terdiri dari anak ( peer group) yang mempunyai pengaruh, dan kualifikasi tertentu, yang dipilih teman-temannya melalui jejaring sosial /sociometric. Mereka diberi pelatihan terlebih dulu, tentang bagaimana mereka bisa membantu teman-temannya dan mencegah perundungan.

“Sekolah pun bisa membuat program edukasi tentang perundungan bagi personel sekolah, orang tua juga siswa. Kebijakan tentang menghadapi perundungan, pengembangan nilai-nilai sekolah disusun bersama dengan melibatkan siswa.

Evaluasi tentang kondisi lingkungan sekolah juga perlu dilakukan, seperti melakukan pengawasan di area sekolah yang sepi bila tidak sedang digunakan, seperti misalnya gudang, toilet atau hall olahraga.

“Secara eksternal sekolah perlu melakukan kolaborasi dengan masyarakat ataupun organisasi terkait, seperti misalnya dengan pusat pembelajaran keluarga yang berada di bawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Sekolah pun bisa bekerja sama dalam kegiatan atau berkolaborasi dengan sekolah-sekolah yang berdekatan lokasinya, untuk melakukan kompromi tentang nilai-nilai yang berujung pada nilai kasih sayang, toleransi dan saling menghargai,” tandasnya. (dam)

Exit mobile version