INDOPOS.CO.ID – Gangguan tumbuh kembang anak berupa stunting masih menjadi masalah kesehatan nasional. Data hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Indonesia berada di angka 21,6 persen.
Meski telah mengalami penurunan dari 24,4 persen di 2021, namun angka prevalensi stunting ini masih belum memenuhi standar WHO yang semestinya tidak lebih dari 20 persen. Sementara dalam strategi nasional, pemerintah menargetkan penurunan stunting hingga ke angka 14 persen pada 2024 mendatang.
“Asupan gizi anak di masa MPASI (Makanan Pendamping ASI) menjadi penting dan harus diperhatikan,” ujar Dokter Spesialis Anak dari Universitas Airlangga (Unair) Dr. Nur Aisiyah Widjaja, Sp.A (K) dalam acara daring, Senin (18/9/2023).
Menurut dia, penyebab stunting yang sering ditemukan adalah pemberian MPASI yang tidak adekuat. Sebab, sebanyak 60,6 persen stunting terjadi antara lahir sampai usia 2 tahun, dan 28 persen terjadi antara usia 2-5 tahun.
“Setelah anak berusia 6 bulan, konsumsi ASI saja (eksklusif) tak lagi mampu mencukupi kebutuhan gizinya. Ketika anak menginjak usia 6 bulan, kandungan zat gizi makro terutama protein, lemak, dan karbohidrat pada ASI akan mengalami penurunan,” katanya.
“Ketika anak berusia 6-8 bulan kandungan gizi ASI berkurang 30 persen, lalu pada usia 9-11 bulan berkurang lagi hingga 50 persen, dan selanjutnya terus berkurang hingga 70 persen. Kandungan zat gizi mikro seperti zat besi dan zink di dalam ASI juga mengalami penurunan hingga 95-97 persen setelah anak berusia 6 bulan,” bebernya.
Ia menerangkan, temuan bukti data bahwa balita weight faltering yang tidak segera diintervensi menyebabkan penurunan status gizi akut (BB kurang/sangat kurang) dan kronis (stunting). “Bukti menunjukkan balita stunting diawali dengan weight faltering di usia kurang dari 1 tahun dan kondisi kekurangan gizi menahun (kronis),” jelasnya.
Untuk meningkatkan kualitas MPASI, menurut dia, langkah penting yang dapat dilakukan adalah meningkatkan konsumsi protein hewani. Mencukupi asupan protein hewani dipercaya efektif untuk mencegah kondisi stunting pada anak. Sebagaimana diketahui, dibandingkan protein nabati, konsumsi protein hewani seperti telur, daging sapi, daging ayam, ikan, susu, dan sebagainya, mengandung lebih banyak lemak (sekitar 30-40 persen), vitamin B12, vitamin D, DHA, zat besi, dan zinc yang diperlukan anak untuk mendukung pertumbuhan anak.
“Konsumsi protein hewani penting untuk pertumbuhan anak. Sebabnya, di dalam tubuh kita ada sensor pertumbuhan yang bernama mTOR (mammalian target of rapamycin). Sensor ini akan menyala apabila kadar asam amino esensial di dalam darah cukup tinggi,” katanya.
“Ketika sensornya sudah menyala, tubuh akan mampu melakukan proses sintesa protein dan sintesa lemak secara baik, sehingga pertumbuhan anak berlangsung normal. Jenis asam amino esensial yang diperlukan untuk menyalakan sensor ini hanya bisa diperoleh dari konsumsi protein hewani,” imbuhnya.
Dikatakan dia, hingga saat ini konsumsi protein hewani di Indonesia masih sangat rendah, yaitu hanya 9,58 gram untuk kelompok ikan/ udang/ cumi/ kerang, 4,79 gram untuk kelompok daging, dan 3,37 gram untuk kelompok telur/susu.
“Agar bisa memenuhi target pertumbuhan normal, porsi konsumsi protein hewani perlu diberikan secara tepat sesuai dengan usia dan kondisi anak,” ungkapnya.
“Misalnya pada anak sehat berusia 6-11 bulan yang rata-rata memerlukan kenaikan berat badan antara 200-400 gram per bulan, kebutuhan protein hewani hariannya adalah sekitar 15 gram yang bisa diperoleh dari konsumsi 1 butir telur (6 gram) dan 1 ekor ikan lele (11 gram). Dan begitu pula pada anak usia 1-2 tahun membutuhkan 20 gram protein dan usia 3-5 tahun 25 gram protein, sehingga juga dibutuhkan konsumsi protein hewani yang cukup,” imbuhnya.
Lebih jauh ia mengungkapkan, dalam rangka mengejar terget penurunan stunting hingga 14 persen, dalam tata laksana stunting penting untuk memperhatikan Protein Energy Ratio (PER). Panduan ini dapat digunakan untuk optimalisasi kekurangan energi dan protein pada kondisi undernutrisi, sehingga terpenuhi sebagai terapi nutrisi untuk tumbuh kejar (catch up growth) dan bisa ditoleransi dengan baik.
“Dengan berpedoman pada PER, dapat diketahui untuk menaikkan berat badan dengan cepat yaitu antara 10-20g/kgBB/hari diperlukan asupan makanan dengan rasio protein energi sebesar 8,9-11,5 persen. Sedangkan untuk penambahan berat badan yang lebih besar, bisa diberikan makanan dengan PER 10-15 persen,” jelasnya.
Sementara pada anak yang mengalami kekurangan nutrisi kronis seperti stunting, masih ujar dia, harus dilakukan deteksi penyakit penyerta (red flag) dan pemberian makanan padat dengan protein hewani yang perlu disertai dengan Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK), yaitu susu dengan kandungan kalori tinggi.
“Pemberian PKMK sifatnya individual, yang membutuhkan penilaian dan pemantauan Dokter karena harus disesuaikan dengan kondisi status gizi anak,” katanya.(nas)