INDOPOS.CO.ID – Adalah Komodor Muda R. Suyoso. Hasrat dan minat kuatnya terhadap musik diawali ketika Mas Yos, sapaannya masih sebagai perwira TNI Angkatan Udara (AURI). Dia kemudian mendapat julukan ‘The Singing Commodore’.
Perjalanan hidupnya diabadikan ke dalam buku istimewa setebal 200 halaman lebih. Mas Yos merupakan salah satu pelopor dan tokoh kunci dalam sejarah industri musik rekaman dan radio di Indonesia. Bukan sekadar biografi, buku ini adalah catatan penting mengenai fondasi industri musik dan radio yang dikenal saat ini.
Bertepatan dengan peringatan Hari Radio Nasional, Rabu (11/9/2024), sejarah musik dan radio Indonesia mencapai momen penting dengan peluncuran buku biografi “Panggil Saya Mas Yos”.
Bertempat di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2024), acara ini dihadiri oleh tokoh-tokoh terkemuka dari dunia musik, media, serta perwakilan pemerintah seperti Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, tokoh intelektual Prof Emil Salim PhD, mantan KSAU Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim, dan sebagainya.
“Panggil Saya Mas Yos” menandai tonggak sejarah yang merayakan bagaimana Mas Yos membuka jalan bagi generasi musisi dan praktisi media, dari era analog hingga ke era digital saat ini.
Inisiatifnya dalam mendirikan Irama Records, label rekaman pertama di Indonesia, serta pendirian stasiun radio swasta pertama, merupakan warisan budaya yang akan terus dikenang.
Menparekraf Sandiaga Uno berharap buku ini tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi juga mampu menginspirasi para pembaca, khususnya generasi muda yang tertarik pada dunia musik dan radio.
“Saya mengharapkan bahwa segala proses perjuangan Mas Yos yang luar biasa ini, bahwa tantangan yang dihadapinya di masa itu hingga upaya kita untuk keberlanjutan industri ini di Indonesia tetap terus dicari cara mengatasinya, terus bergairah dalam beradaptasi secara inklusif dan terus-menerus untuk bertahan dan maju berkembang dengan bentuk baru di era digital dan AI ini dengan baik,” ujarnya.
Elshinta Suyoso-Marsden, puteri dari Mas Yos, berharap peluncuran buku ini dapat memperkaya makna dan semangat dalam peringatan Hari Radio Nasional.
“Melalui buku ini, kami berusaha menghadirkan gambaran utuh tentang sosok almarhum Suyoso Karsono, yang lebih dikenal dengan nama Mas Yos, sebagai pelopor dalam dunia industri rekaman musik dan stasiun radio di Indonesia,” tuturnya.
Elshinta juga mengharapkan buku ini dapat menjadi sumbangsih berharga bagi industri musik dan radio Indonesia, serta memperkaya wawasan khalayak tentang sejarah dan kiprah Mas Yos yang telah mewarnai perjalanan musik dan radio di Tanah Air.
“Semoga buku ini tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi juga mampu menginspirasi para pembaca, khususnya generasi muda yang tertarik pada dunia musik dan radio,” ucapnya.
Pionir Musik dan Radio
Mas Yos adalah sosok visioner yang berjasa besar dalam perkembangan industri kreatif Indonesia, khususnya di bidang musik dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Sejak masa awal kemerdekaan, ketika Indonesia sedang berusaha menemukan identitasnya dalam industri musik, Mas Yos mendirikan J&B Records, yang kemudian menjadi Irama Records pada tahun 1953—label piringan hitam komersial pertama di Indonesia.
Irama Records adalah fondasi dari industri musik modern di Indonesia, menjadi rumah bagi musisi legendaris yang merajai genre jazz, pop, keroncong, dan musik daerah.
Beberapa musisi besar yang ditemukan dan dipromosikan oleh Mas Yos melalui Irama Records termasuk para legenda jazz seperti Nick Mamahit, Bubi Chen, Jack Lesmana, dan Mus Mualim.
Di luar jazz, nama-nama seperti Titiek Puspa, Bing Slamet, Rachmat Kartolo, Bob Tutupoly, Henny Purwonegoro, Ernie Djohan, Lilies Suryani, hingga Ida Royani juga besar berkat dukungan Mas Yos.
Bahkan, grup-grup legendaris seperti Koes Bersaudara dan Dara Puspita turut merasakan tangan dingin Mas Yos dalam mempromosikan karya mereka.
Tidak ketinggalan musisi dan seniman tradisional seperti Bram Titaley, Waljinah, Benyamin Sueb, hingga Elly Kasim juga pernah mendapat sentuhannya.
Mas Yos juga tidak hanya aktif di dalam negeri. Pada 1967, dia membawa grup The Indonesian All Stars ke Berlin Jazz Festival, salah satu festival jazz terbesar di dunia.
Perjalanan tersebut menjadi ajang pengakuan internasional atas talenta musisi jazz Indonesia, yang beranggotakan musisi legendaris seperti Nick Mamahit, Bubi Chen, Jack Lesmana, Yopie Item, Benny Mustafa, Maryono, dan lainnya.
“Jika kita ingin memahami bagaimana industri musik Indonesia bisa berkembang menjadi sebesar sekarang, kita harus memulai dari Mas Yos. Melalui keberanian dan visinya, ia menciptakan infrastruktur yang memungkinkan musik dan budaya populer kita mekar,” ujar Direktur Manajemen Industri Kemenparekraf/Baparekraf, Syaifullah Agam dalam sambutannya.
Revolusi Industri Penyiaran Radio oleh Mas Yos
Tidak hanya di bidang musik, Mas Yos juga menjadi pelopor di dunia radio. Pada tahun 1967, dia mendirikan Radio AM Elshinta, radio swasta komersial pertama di Indonesia yang kemudian menjadi ikon media penyiaran dengan berbagai program off-air, relay internasional dari BBC UK, VOA US, dan Hilversum Belanda.
Penyiarnya pun tokoh-tokoh ternama seperti Hoegeng I. Santoso, Mien Uno, dan Rudy Gontha. Mas Yos melanjutkan inovasinya di bidang radio dengan mendirikan Suara Irama Indah, stasiun radio FM komersial pertama di Indonesia dengan kualitas stereo, yang menjadi pelopor dalam memutarkan lagu-lagu terkini di kalangan pendengar muda.
Penyanyi dan Pencipta Lagu
Tidak hanya berperan sebagai pionir di belakang layar, Mas Yos juga memiliki karier sebagai penyanyi. Beberapa lagu evergreen ciptaannya seperti “Selamat Hari Lebaran,” “Lenggang Jakarta,” dan “Potong Bebek Angsa” masih dikenal hingga kini, memperkaya khazanah musik Indonesia dan menciptakan kenangan abadi di hati masyarakat.
Saatnya untuk mengenang, menghargai, dan melanjutkan perjuangan Mas Yos. Bagi generasi muda, buku ini memberikan inspirasi untuk terus berinovasi, menjembatani masa lalu dan masa depan industri musik dan radio di Indonesia.
“Buku ini bukan hanya untuk mengenang jasa-jasa Mas Yos, tetapi juga untuk memberikan inspirasi dan motivasi bagi generasi berikutnya,” kata Ahmed Kurnia Soeriawidjaja, salah satu tim penulis buku “Panggil Saya Mas Yos”.
Dalam industri musik Indonesia, sambung Ahmed, pengaruh dan andil Mas Yos sangat besar. “Semoga buku ini merefleksikan penghormatan kepada beliau sebagai sosok yang telah mewarnai perjalanan sejarah musik Indonesia setelah kemerdekaan,” tandasnya.
Peluncuran buku “Panggil Saya Mas Yos” adalah momen yang tak boleh dilewatkan, karena ini adalah kesempatan untuk memahami kisah luar biasa yang membentuk sejarah musik Indonesia.
Tidak hanya itu, pameran memorabilia yang menampilkan koleksi rekaman langka dan peralatan siaran pribadi Mas Yos akan tersedia untuk publik hingga seminggu ke depan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menyaksikan langsung jejak warisan yang dia tinggalkan.
“Dengan terbitnya buku ini, semoga kepeloporan Mas Yos yang penuh pengabdian kepada negeri tercinta akan lebih banyak lagi mengilhami generasi mudah bangsa – pemimpin masa depan Indonesia dalam mengabdikan dirinya untuk Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa,” kata Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim, KSAU periode 2002–2005.
Warisan Mas Yos ternyata masih hidup, masih relevan, dan terus menginspirasi generasi muda masa kini. Adalah Addie MS., seorang konduktor, komponis, penulis lagu, dan produser rekaman, pendiri Twilite Orchestra (1971), yang belum pernah jumpa dengan Mas Yos.
Maestro Musik Addie MS menuturkan dirinya sangat terinspirasi dengan siaran musik klasik yang ada di Radio Elshinta masa itu. Addie bersama ibunya saat itu hampir tak pernah melewatkan acara itu. Hal ini yang membuat Addie suka musik klasik dan meniti karir secara otodidak di dunia musik.
“Alhasil, buku ini bukan hanya untuk mengenang jasa-jasa Mas Yos, tetapi juga untuk memberikan inspirasi dan motivasi bagi generasi berikutnya. Dalam industri musik Indonesia, pengaruh dan andil Mas Yos sangat besar. Semoga buku ini merefleksikan penghormatan kepada beliau sebagai sosok yang telah mewarnai perjalanan sejarah musik Indonesia setelah kemerdekaan,” pungkas Addie MS. (aro)