Pengamat Menilai Pemindahan IKN Terkesan Dipaksakan

Pengamat Menilai Pemindahan IKN Terkesan Dipaksakan

Caption: Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Dr. Trubus Rahadiansyah. Foto: Ist.

INDOPOS.CO.ID – Pemindahan ibu kota negara (IKN) oleh pemerintah terkesan dipaksakan karena dari sisi anggaran sebenarnya belum siap apalagi di tengah pandemi Covid-19 seperti ini.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Dr. Trubus Rahadiansyah mengatakan, pihaknya dua kali diuandang oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk memberi masukan terkait perpindahan IKN tersebut.

“Salah satu masalah yang dibahas adalah terkait anggaran. Sebab, pembangunan IKN itu merupakan sesuatu yang rumit yang membutuhkan pembangunan yang berkelanjutan. Karena tidak mungkin pembangunan IKN itu akan selesai tahun 2024,” ujar Trubus Rahadiansyah kepada indopos.co.id, Jumat (4/2/2022).

Trubus menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana untuk menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk membangun IKN.

“Dana PEN itu seharusnya digunakan untuk pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 ini, bukan untuk yang lain,” katanya.

Menurut Trubus, bukan saatnya lagi menolak IKN karena undang-undang (UU) sudah disahkan oleh DPR. Yang perlu dilakukan saat ini, bagaimana mengawal pembangunan IKN agar bebas dari praktik korupsi dan tidak membebankan APBN.

“Saya setuju pemindahan IKN namun biayanya harus melalui investor sehingga tidak membebankan APBN. Karena itu, orang yang akan menjadi kepala otorita pembangunan IKN harus benar-benar profesional dan didukung partai mayoritas pendukung pemerintah serta memiliki kemampuan untuk mendatangkan investor,” ujar Trubus.

Ia menegaskan, pembangunan IKN itu akan rampung sekitar 20 tahun. Itu berarti empat periode presiden. Kalau hanya mengandalkan APBN tentu sangat berat.

“Ada kekhawatiran akan terjadi mangkrak kalau hanya mengandalkan APBN. Belum tentu presiden periode berikutnya akan melanjutkan pembangunan IKN tersebut kalau mengalami kesulitan dari sisi anggaran, kendati sudah ada undang-undang. Jadi, pertimbangan dari sisi anggaran harus benar-benar matang,” ujarnya.

Trubus mengatakan skema pembiayaan pembangunan IKN itu 53 persen dari pemerintah dalam hal ini APBN dan 47 persen melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha.

“Skema ini mewajibkan untuk mencari investor sehingga tidak memberatkan APBN. Kalau pakai APBN pasti polanya utang. Utang semakin membengkak akan menimbulkan penderitaan bagi anak dan cucu kita nantinya,” ujarnya.

Kalau mendatangkan investor, kata Trubus, pasti ada yang namanya politik tukar guling atau kompensasi.

Persoalan kedua kata Trubus, adalah terkait tanah atau lahan. Ia mengatakan tanah yang digunakan untuk membangun IKN, tidak semuanya tanah milik negara tetapi ada tanah adat, ulayat dan lain-lain.

“Luas IKN itu lima kali lipat luas DKI Jakarta. Kalau untuk lahan milik negara memang tidak ada persoalan tetapi lahan untuk pengembangan kawasannya yang bermasalah,” ujar Trubus.

Trubus menjelaskan, persoalan lain yang terjadi di kawasan yang akan dibangun IKN adalah terkait lingkungan hidup. Pada lahan IKN itu terdapat banyak lubang bekas tembang yang tidak dilakukan reklamasi, penimbunan kembali atau reboisasi.

“Persoalan lingkungan hidup ini banyak dipersoalkan oleh rekan-rekan dari Walhi dan aktivis lingkungan lainnya. Apakah lubang besar bekas tambang yang ditinggal oleh perusahaan itu menjadi tanggung jawab negara,” katanya.

Khusus soal lahan IKN, belakangan banyak yang mengklaim bahwa pada wilayah yang akan dibangun IKN itu ada lahan milik adat Kerajaan Kutai dan lain-lain.

“Persoalan tanah atau lahan ini harus benar-benar diselesaikan. Putra daerah di Kalimantan, tidak hanya Kalimantan Timur, perlu diajak terlibat dalam otorita pembangunan IKN, sehingga berbagai persoalan bisa diselesaikan dengan pendekatan budaya dan lain-lain,” katanya. (dam)

Exit mobile version