MA Kabulkan PP Pengetatan Remisi, MAHUPIKI: Implementasinya Harus Ada Penguatan

mahupiki

Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminolog Indonesia (MAHUPIKI) Yenti Ganarsih. Foto: Instagram

INDOPOS.CO.ID – Semangat restorative justice dilakukan sebelum perkara diputuskan. Dan itu untuk pelanggaran hukum ringan. Sementara putusan Mahkamah Agung (MA) terkait remisi tersebut berlaku setelah perkara diputuskan.

Pernyataan tersebut diungkapkan Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminolog Indonesia (MAHUPIKI) Yenti Ganarsih melalui gawai, Sabtu (19/2/2022).

Menurut dia, implementasi putusan MA tersebut harus ada pengaturan. Dengan membedakan antara kasus berat dan kasus ringan. Sehingga semangatnya sama dengan aturan restorative justice untuk kasus ringan.

“Sejak awal ini (kasus berat seperti terorisme, korupsi) kan tidak bisa direstorative justice. Jadi kedua aturan ini berbeda, karena satu sebelum ada putusan dan remisi setelah ada putusan,” terangnya.

Ia menjelaskan, remisi adalah hak warga binaan pemasyarakatan (WBP) untuk mengajukan dan mendapatkan remisi. Bukan hak WBP atas remisi.

“Harus selektif. Karena remisi itu hak untuk mengajukan, dikabulkan atau tidak ditentukan oleh mekanisme yang berjalan. Dan jangan ada tindak koruptif,” terangnya.

“Garda terdepan di sini (Kalapas sampai Dirjen PAS), harus dikuatkan. Kalau ingin menjerakan koruptor,” imbuhnya

Ia menambahkan, MA telah memutuskan. Oleh karena itu, publik pun harus menghormatinya. Namun, menurut dia, Kementerian Hukum dan HAM harus bergerak cepat, dengan tidak ada lagi hak istimewa bagi WBP.

“Kementerian Hukum dan HAM harus bergerak cepat agar aturan ini tidak disalahgunakan oleh oknum,” ungkapnya.

Sebelumnya, MA mengabulkan Judicial Review peraturan pemerintah (PP) 99/2012 tentang pengetatan remisi bagi koruptor, terorisme dan narkoba. Aturan remisi saat ini bisa diberikan kepada WBP tanpa terkecuali. (nas)

Exit mobile version