Ekonom: Panic Buying Minyak Goreng karena Kebijakan Salah Pemerintah

minyak

Ilustrasi minyak goreng. Foto: Ist

INDOPOS.CO.ID – Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng saat ini terjadi akibat kurangnya antisipasi dari pemerintah.

Harga jual minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) kembali naik pada awal tahun 2022 di pasar internasional. Kenaikan CPO itu karena implementasi kebijakan domestic market obligation (DMO) awal tahun ini.

Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, harga CPO dunia sempat menembus level tertinggi pada pekan kedua Januari 2022 di posisi Rp12.736 per liter. Harga itu lebih tinggi 49,36 persen dibandingkan Januari 2021.

“Saya kira pemerintah terlambat, untuk mengantisipasi dan kelangkaan ini semakin diperparah oleh ketidaksiapan pemerintah karena, harga CPO di level internasional masih mengalami kenaikan,” kata Bhima melalui gawai, Jakarta, Senin (21/2/2022).

Selain harga CPO naik, pasokan di dalam negeri menjadi masih terbatas. Permasalahan itu seharusnya dapat diantisipasi pemerintah sejak awal tahun 2021.

Dalam kebijakan DMO, perusahaan minyak goreng wajib memasok minyak goreng sebesar 20 persen dari volume ekspor mereka. Kemudian dalam kebijakan domestic price obligation (DPO), pemerintah menetapkan harga CPO Rp 9.300 per kilogram.

Menurutnya, domestic price obligation untuk produk turunan sawit biodiesel tidak efektif menstabilkan krisis harga dan pasokan minyak goreng.

“DPO untuk CPO kan lambat sekali, makanya efektivitasnya tak bisa cepat. DMO mungkin masih bisa dirasakan dalam 2-3 bulan ke depan,” nilainya.

Sementara situasi saat ini sudah berkejaran dengan ramadan dan lebaran yang tinggal menghitung hari. Biasanya permintaan musiman minyak goreng mengalami kenaikan.

“Jadi kepanikan atau panic buying atau kelangkaan ini, karena kebijakan pemerintah yang salah,” kritik Bhima. (dan)

Exit mobile version