Pengangkatan Pj Kepala Daerah dan Pj Sekda Berpotensi Maladministrasi

DR Muhamad Labolo

Ketua Departemen Pengembangan Keilmuan Pemerintahan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Jakarta, DR Muhamad Labolo

INDOPOS.CO.ID – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, yakni, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ) melaporkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian ke Ombudsman,terkait penunjukan Penjabat (Pj) kepala daerah ke Ombudsman.

Organisasi masyarakat sipil itu menduga terjadinya maladministrasi dalam penunjukan sejumlah Pj Kepala Daerah tersebut. Bahkan, ada seorang Sekda yang ditunjuk menjadi Pj Gubernur menunjuk dan melantik lagi seorang Pj Sekda untuk mengantikan dirinya, sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan di publik, seperti yang terjadi di Provinsi Banten.

Menyikapi persoalan ini, Ketua Departemen Pengembangan Keilmuan Pemerintahan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Jakarta, DR Muhadam Labolo menjelaskan, penunjukan seorang TNI aktif menjadi Pj kepala daerah, seperti yang terjadi di Seram Barat, Sulawesi Tengah, diduga melanggar putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 67 PUU-XIX/2021 yang menegaskan, bahwa anggota Polri dan TNI harus mundur dari dinas aktif.

UU TNI No.34/2004 dan UU Polri No.2/2002 terkait profesionalitas dan status anggota TNI dan Polri di luar institusi yang mewajibkan mundur dari dinas aktif. UU 23/2014 tentang Pemda terkait pengisian penjabat di daerah.

“Salah satu yang diduga dilanggar adalah UU 30/2014 tentang administrasi pemerintahan (terkait asas pemerintahan yang baik). UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada (pengisian posisi oleh JPT Madya & Pratama). Satu-satunya aturan yang dijadikan reasoning dalam mengakomodir status anggota Polri & TNI adalah UU 5/2014 tentang ASN,” terang dosen senior di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini kepada INDOPOS, Minggu (5/6/2022).

Muhadam menjelaskan, jika nantinya Ombudsman menyatakan bahwa pengangkatan Pj Kepala Daerah itu dinyatakan maladminstrasi, maka konsekuensi hukumnya adalah semua produk kebijakan yang bersifat administratif terkait hal itu mesti diubah atau dicabut sesuai dengan rekomendasi Ombudsman.

“Intinya pejabat administratur (Mendagri) dapat mengubah putusannya bila dinilai bersifat maladministrasi, karena rekomendasi Ombudsman bersifat morally binding sekaligus legally binding. Artinya, baik secara moral maupun legalitas, Kemendagri dapat melakukan self correction,” tuturnya.

Ia menambahkan, bila dapat dibuktikan dan tergantung hasil penilaian Ombudsman. Jika bersifat retroaktif maka semua jabatan sebagaimana kasus Banten dimana seorang Pj Gubernur yang berasal dari Sekda kembali mengangkat Pj Sekda, maka dengan sendirinya mesti diperbaiki. Bila non retroaktif, artinya putusan selanjutnya saja yang mesti diperbaharui atau diperbaiki.

“Sebaliknya, bila hasilnya dinilai tidak ada unsur maladministrasi, maka semua putusan administratur berjalan sebagaimana adanya,” katanya.

Dosen di berbagai Perguruan Tinggi ini mengatakan, putusan MK No.67/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa anggota TNI-Polri hanya dapat diangkat menjadi Penjabat Kepala Daerah ketika yang bersangkutan telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Amar MK ini sekalipun terang-benderang, namun tak kuasa dieksekusi lantaran beririsan dengan beleid lain.

“Bila diteliti semangat UU ASN Nomor 5/2014, UU TNI No 34/2004, UU Polri No.2/2002, UU Pemda No.23/2014, UU Administrasi Pemerintahan No.30/2014, serta UU Pilkada No.10/2016, terlihat betapa sulitnya melerai tumpang-tindih pengaturan soal posisi seseorang dalam status sebagai aparat pemerintah dan aparat negara yang diberi tugas tambahan di jabatan politik,” jelasnya.

Menurut Muhadam, dengan alasan itu ada baiknya pemerintah merelaksasi aturan teknis alokasi Penjabat Kepala Daerah yang akan berakhir di penghujung 2022 dan 2023.

“Alasannya, pertama secara teknis memperjelas posisi seseorang dalam status sebagai Penjabat Kepala Daerah. Hal ini memberi kepastian atas regulasi sektoral, mana aturan spesialis yang tunduk pada aturan generalis, dan mana aturan kecil yang tunduk pada aturan besar (lex spesialis derogat lex generalis, lex superior derogat lex inferior),” paparnya.

Selain itu, moment pengisian penjabat saat ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebab, aturan lama hanya mengatur masa jabatan normal dan bersifat short time, bukan long time sebagaimana yang terjadi saat ini, sehingga perlu ada pengaturan tentang hal ini.

Menurut Muhadam, pengaturan itu penting karena akan menimbulkan konsekuensi berlapis di level terendah. Semisal, terciptanya kekosongan posisi di sejumlah Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) dikarenakan pejabatnya berstatus Penjabat Kepala Daerah, baik di provinsi maupun kabupaten/kota. “Vacuum of job itu membutuhkan pengisian dengan status pelaksana harian dan dalam limitasi waktu tertentu,” cetusnya.

Ia menambahkan. sebenarnya pengisian jabatan akibat ditinggal kepala daerah yang kurang dari setahun telah diatur dalam Pasal 65-66 UU 23/2014 Tentang Pilkada. Namun masalah muncul, ketika posisi kepala OPD yang ditinggal lebih dari setahun kembali kosong.

“Pengisian ini setidaknya memperjelas status seseorang sebagai pelaksana harian dengan jangka waktu terbatas. Tanpa aturan soal itu, Penjabat Kepala Daerah setiap bulan mesti membuat surat perpanjangan pelaksana harian. Ini jelas tak efektif, selain tugas dan fungsinya yang dibatasi,” kata Muhudam.

Dikatakan, aturan teknis itu akan menegaskan afirmasi masa jabatan seorang pelaksana harian sekaligus fungsinya yang terbatas, atau mungkin sama dan sebangun dengan wewenang seorang Penjabat Kepala Daerah. “Ini penting guna mengurangi kebingungan birokrasi di level pemerintah lokal. Pengaturan teknis itu sekaligus menyempurnakan durasi transisi baik status seseorang sebagai Pj, Plh, Plt, dan Pjs di pusat dan daerah,” tegasnya.

Muhadam mengatakan, dalam perspektif kebijakan, pemerintah boleh saja tidak menindaklanjuti putusan MK sepanjang aturan yang ada dinilai memadai. Meminjam Dye, public policy is whatever governments to do or not to do. Namun dalam sudut pandang politik pemerintahan, alokasi penjabat kepala daerah saat ini tidak saja berimplikasi luas dan berdurasi panjang pada jabatan politik, juga mencegah politik transaksional dan memberi kepastian hukum atau legal certainty.

Ia menambahkan, penyesuaian teknis itu berfungsi mengurangi tensi kegaduhan pasca pelantikan 5 penjabat gubernur tahap pertama, serta mendongkrak defisit trust bagi pemerintah. Selain alasan di atas, penataan pola mekanisme rekrutmen Penjabat Kepala Daerah di lingkungan Kemendagri memperjelas personifikasi seseorang yang akan dipromosi sebagai Penjabat Kepala Daerah. Hal mana menguatkan legitimasi dan prinsip transparansi.

Tak hanya itu, aturan teknis seyogiyanya memperjelas pola rekrutmen Penjabat Kepala Daerah dengan melibatkan komite sederhana di lingkup Kemendagri, tahapan, teknis pengusulan, pertimbangan, termasuk relasi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Panitia adhoc melibatkan stakeholders, baik top down maupun bottom up.Tak lupa penegasan soal kewajiban gubernur mengusulkan, dan hak pemerintah menetapkan Penjabat Kepala Daerah. Demikian pula penghapusan konsideran insidentil yang tak relevan menjadi alasan penunjukan Penjabat Kepala Daerah. Ini menyudahi kesan pembangkangan gubernur dalam hal usulan yang berseberangan

Terakhir, kata Muhamad, pengaturan teknis ini memperjelas posisi polisi dan tentara dalam ruang sipil pasca putusan MK, sekalipun UU ASN membolehkan Polisi dan Tentara duduk pada sejumlah instansi yang berhubungan dengan profesionalitas mereka, namun dalam menjalankan fungsi Penjabat Kepala Daerah sebaiknya konsisten dengan amar putusan MK.Yaitu, pensiun dari institusi induk, kecuali beralih-fungsi permanen sebagai ASN di posisi setaraf dengan JPT Madya atau Pratama. Sejauh hanya mengisi lowongan sementara dan masih terikat aktif pada institusi induk, sebaiknya tak dibolehkan.

“Pengaturan itu sekaligus menjaga spirit reformasi yang kini mulai bocor halus pasca 24 tahun reformasi, dimana tugas aparat keamanan dan pertahanan dimasa normal cukup mengawal demokrasi (back to barracks) bukan kembali berperan ganda (dwi fungsi). Daya jangkau aturan teknis ini bisa bersifat non retroaktif atau sebaliknya guna memberi keadilan bagi semua, sekaligus tegak lurus dengan aturan diatasnya,” tandasnya.(yas)

Exit mobile version