Harga BBM Subsidi Naik di Waktu Tidak Tepat, Indonesia Terancam Stagflasi

mypertamina bbm subsidi pertalite

Ilustrasi bbm subsidi. Foto: Instagram/@ptpertaminapatraniaga

INDOPOS.CO.ID – Keputuan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis pertalite dan solar sejak Sabtu (3/9/2022) siang dinilai bukan waktu yang tepat. Lebih baik subsidi BBM ditambah dibanding dialihkan ke bantuan sosial (bansos).

Pengamat ekonomi selaku Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis pertalite.

“Masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga pertalite menjadi Rp 10 ribu per liter. Dampaknya Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja,” ungkap Bhima ketika ditanya INDOPOS.CO.ID, Minggu (4/9/2022).

Menurutnya, BBM bukan sekadar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, tapi juga ke hampir semua sektor terdampak.

Misalnya, kata dia, harga pengiriman bahan pangan akan naik di saat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk.

“Inflasi bahan makanan masih tercatat tinggi pada bulan Agustus yakni 8,55 persen year on year, bakal makin tinggi. Diperkirakan inflasi pangan kembali menyentuh dobel digit atau di atas 10 persen per tahun pada September ini. Sementara inflasi umum diperkirakan menembus di level 7 – 7,5 persen hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif. Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali kali, belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman,” terang Bhima.

Antrean panjang di salah satu SPBU Pertamina. Foto: Humas PT Pertamina (Persero)

Ia mengatakan, masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun, akan mengurangi konsumsi barang lainnya. Karena BBM ini kebutuhan mendasar, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak.

“Pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko ambil jalan pintas dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya-biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur kontraksi kembali di bawah 50,” ujar Bhima.

Dia menjelaskan, bansos yang hanya melindungi orang miskin dalam waktu empat bulan, tidak akan cukup dalam mengompensasi efek kenaikan harga BBM.

“Misalnya ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga pertalite masih sanggup membeli di harga 7.650 per liter, sekarang harga Rp10.000 per liter mereka turun kelas jadi orang miskin. Data orang rentan miskin ini sangat mungkin tidak tercover dalam bantuan langsung tunai (BLT) BBM karena adanya penambahan orang miskin pasc kebijakan BBM subsidi naik. Pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat,” tuturnya.

“Alih-alih melakukan pembatasan dengan menyasar pengguna solar misalnya yang selama ini dinikmati industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar tapi cara pemerintah justru mengambil langkah menaikkan harga BBM subsidi. Kenaikan harga merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif,” tambahnya.

“Tujuan utama untuk membatasi konsumsi pertalite subsidi juga tidak akan tercapai, ketika di saat bersamaan harga pertamax ikut naik menjadi 14.500 per liter. Akibatnya pengguna pertamax akan tetap bergeser ke pertalite,” tutup Bhima. (dam)

Exit mobile version