Kebijakan Kenaikan Harga BBM Dinilai Sembrono dan Tidak Tepat Waktu

mypertamina bbm subsidi pertalite

Ilustrasi bbm subsidi. Foto: Instagram/@ptpertaminapatraniaga

INDOPOS.CO.ID – Kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dinilai sembrono karena tidak memikirkan dampaknya terhadap masyarakat miskin dan kelas menengah ke bawah. Kenaikan harga BBM tidak hanya berdampak terhadap sektor transportasi tetapi banyak sektor lainnya terlebih harga pangan.

“Kalau pemerintah mempertimbangkan nasib masyarakat seharusnya bantalan sosial atau bantuan sosial harus dipersiapkan lebih matang terlebih dahulu baru mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM. Kondisi ekonomi masyarakat pasca pandemi Covid-19 masih terseok-seok, malah pemerintah menaikkan harga BBM,” ujar pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Dr. Trubus Rahadiansyah kepada indopos.co.id, Senin (5/9/2022).

Menurut Trubus, dampak kenaikan harga BBM akan menambah jumlah masyarakat miskin bahkan akan muncul orang miskin baru. Kebijakan bantuan sosial atau bantuan langsung tunai (BLT) atau Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk pekerja dengan upah Rp 3,5 juta tidak akan banyak membantu.

“Keakuratan data penerima bantuan tersebut sangat diragukan. Masih banyak masyarakat yang tidak terdata sebagai penerima bansos. Apalagi penerima BSU yang hanya mengacu pada data BPJS Ketenagakerjaan. Tidak semua pekerja terdata di BPJS Ketenagakerjaan. Itu yang harus dipahami pemerintah,” katanya.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Dr. Trubus Rahadiansyah. Foto: Istimewa

Trubus mengatakan, untuk mengendalikan dampak kenaikan BBM , pemerintah harus tetap menjaga agar tidak terjadi inflasi pangan. Sebab, kalau terjadi inflasi pangan yang besar maka dampaknya akan menyengsarakan rakyat.

“Ironis memang, pemerintah menaikkan harga BBM di tengah harga minyak mentah menurun. Minyak mentah Indonesia kan dikirim dan diolah di Singapura baru dikirim balik ke Indonesia,” katanya.

Secara terpisah, komunikolog Universitas Pelita Harapan (UPH) Dr. Emrus Sihombing menawarkan dua solusi dan lebih permanen terhadap pengelolaan harga BBM di tanah air yang selama ini belum dilakukan secara sungguh-sungguh.

Pertama, kata Emrus, hapus semua subsidi BBM. Harga sesuai mekanisme pasar. Namun melalui peraturan, misalnya lewat undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) agar lebih cepat, setiap tahun Pertamina diwajibkan sejumlah persen (%) tertentu dari APBN sebagai penambah RAPBN. Pertamina berkontribusi 20% hingga angka persen yang rasional dapat dipenuhi, sebagai contoh. Oleh karena itu, direksi dan komisaris Pertamina harus menandatangani kewajiban tersebut.

“Kontribusi dana sebagai kewajiban Pertamina itu digunakan membangun sarana dan prasarana aspek kesehatan, pendidikan, ketersediaan air bersih, membuka lahan pertanian yang produktif, pendampingan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), listrik masuk desa di desa-desa dan di kantong-kantong kemiskinanan di kota-kota untuk kebutuhan rakyat kelas ekonomi bawah di seluruh tanah air sebagai bentuk kerja keras dari pemerintah,” kata Emrus.

Contohnya, kata Emrus, di bidang kesehatan, pemerintah menyediakan minimal satu helikoter ambulans di setiap kabupaten/kota untuk menjemput warga yang perlu pertolongan darurat karena sakit. Dengan demikian, warga yang tinggal di tepi pantai, di lereng dan di pegunungan bisa mendapat pelayanan kesehatan dengan cepat seperti masyarakat yang tinggal di perkotaan.

“Upaya ini jauh lebih bermanfaat dan tepat sasaran daripada menaikkan atau menurunkan harga subsidi BBM sebagai tindakan tidak mau berkeringat yang terus berulang dari pemerintahan dulu hingga pemerintahan sekarang, bisa saja ini menjadi turun-menurun ke pemerintahan selanjutnya,” katanya.

Untuk menjaga harga BBM sesuai mekanisme pasar, pemerintah sebagai representasi negara melalui aparat hukum menegakkan aturan dan mengawasi secara ketat jika ada aktor yang bermain-main menjual BBM di atas harga mekanisme pasar di suatu wilayah geografis tertentu di tanah air.

“Dengan skema menghapus subsidi maka tugas Pertamina jauh lebih ringan dan mudah sehingga jumlah unit kerja dan karyawan di Pertamina dapat dikurangi secara signifikan. Sekaligus juga dilakukan evaluasi gaji, tunjangan, dan fasilitas seluruh pekerja di Pertamina apa pun jabatan/statusnya. Setarakan saja penghasilan mereka dengan ASN/PNS di Kementerian Sosial, misalnya. Konsekuesi positifnya, hampir bisa dipastikan dapat meningkatkan efisiesi biaya dari internal Pertamina,” ungkapnya.

Kedua, pemerintah tidak menaikkan BBM bersubsidi. Namun ada pengaturan penggunaannya. Pertalite, misalnya, hanya untuk kenderaan umum dan motor saja. Kenderaan pribadi menggunakan BBM non bersubsidi. Sedangkan BBM subsidi jenis solar hanya untuk kenderaan umum, truk, dan usaha mikro. Sama sekali tidak boleh untuk kenderaan pribadi.

“Dengan demikian, orang yang mampu memiliki mobil pribadi wajib/harus menggunakan BBM non subsidi. Mereka memilih naik motor atau kenderaan umum. Kenyataan menunjukkan, begitu BBM dinaikkan, komoditi lain dan biaya transportasi akan ikut naik. Akibat lanjutannya kenaikan inflasi. Dalam beberapa hari ke depan bisa saja tarif ojek online, ongkos bus dan angkot, transportasi udara serta laut dan sebagainya akan naik, termasuk pelayanan publik lainnya. Biasanya kenaikan harga ini akan disampaikan dengan penghalusan pilihan diksi yaitu penyesuaian harga. Padahal maknanya sama, harga naik. Ini sudah sering diungkapkan oleh para elit dari masa Orba, sekarang, dan boleh jadi ke pemerintahan berikutnya, karena kenaikan harga tersebut tidak berpengaruh signifikan kepada kehidupan keseharian meraka,” ujarnya.

Boleh jadi, kata Emrus, siapapun elit sosial akan melakukan pilihan diksi yang sama, sehingga kelas ekonomi bawah akan tetap menjadi objek (pilihan diksi) komunikasi.

“Merujuk pada dua solusi di atas, menurut hemat saya, tawaran solusi pertama lebih baik dan permanen. Jika solusi pertama ini dilakukan, maka akan menjadi legacy yang baik bagi pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin (Jokowi – Ma’ruf) bagi rakyat, utamanya untuk rakyat kelas sosial ekonomi bawah,” tutup Emrus. (dam)

Exit mobile version