Publik Yang Puas dengan Kinerja Jokowi Juga Tolak Penundaan Pemilu

Prof-Dr-Saiful-Mujani

Pendiri SMRC Prof Dr Saiful Mujani. Foto: Youtube SMRC.

INDOPOS.CO.ID – Ide perubahan masa jabatan presiden bertentangan dengan aspirasi rakyat Indonesia. Bahkan publik yang puas dengan kinerja Presiden Jokowi juga menolak gagasan tersebut.

Ilmuwan politik, Prof Saiful Mujani, menyatakan agak tercengang dengan munculnya Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang mengajak untuk berpikir kembali tentang Pemilu 2024 dengan dalih kinerja Presiden Jokowi dinilai bagus oleh rakyat pada umumnya.

Beberapa bulan terakhir, kata Saiful, semua sudah berpikir tentang Pemilu 2024. KPU sudah terbentuk dan sudah bekerja. Partai-partai politik sudah diverifikasi dan sudah diketahui partai mana saja yang lolos untuk menjadi peserta pemilu.

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memiliki data tren tingkat kepuasan publik pada kinerja Presiden Jokowi sejak 2015. Tingkat kepuasan publik pada kinerja Jokowi cenderung mengalami penguatan. Pada periode kedua, tingkat kepuasan ini rata-rata 70 persen. Pada survei terakhir di bulan Desember 2022, tingkat kepuasan publik pada kinerja Presiden Jokowi 74,2 persen.

Saiful melihat tingkat kepuasan publik ini sangat tinggi. Dia menjelaskan bahwa tingkat kepuasan ini adalah cerminan dari approval atau biasa disebut sebagai approval rating terhadap pemimpin pemerintahan.

“Ini peristiwa yang sangat penting bahwa Presiden Jokowi memiliki approval rating yang sangat tinggi,” jelas pendiri SMRC tersebut, Kamis (29/12/2022).

Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dan Ketua DPD, La Nyalla Mattalitti, memiliki pandangan bahwa sebaiknya pemilu 2024 ditunda ke 2027 karena banyak tantangan dan terbukti kinerja Jokowi selama ini baik. Opsi kedua adalah pemilu 2024 tetap, tapi Jokowi diberi kesempatan untuk kembali mencalonkan diri sehingga mengubah konstitusi tentang jabatan presiden menjadi tiga periode.

Saiful melihat posisi Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR yang memiliki wewenang mengubah Undang-Undang Dasar sehingga posisinya sangat penting. Oleh karena itu, menurut Saiful, pandangan ketua MPR tersebut perlu dibahas.

Pandangan Bambang dan La Nyalla tersebut, menurut Saiful, tidak mencerminkan aspirasi publik. Saiful menyatakan bahwa di satu sisi, kinerja Presiden Jokowi memang bagus. Tapi apakah bagusnya kinerja Presiden Jokowi itu membuat publik menginginkan agar dia dikasih wewenang untuk kembali berkuasa dengan mengubah konstitusi atau dikasih tambahan kekuasaan tiga tahun lagi.

Dalam konstitusi tertulis bahwa presiden menjabat selama lima tahun. Dan kembali bisa dipilih untuk periode berikutnya hanya satu kali. Karena itu, kata Saiful, jika ingin menambah periode jabatan tiga tahun tanpa dipilih oleh rakyat, itu jelas harus mengubah konstitusi. Saiful bahkan menyebut ide penambahan durasi kekuasaan itu adalah makar.

“Ide ini (penambahan kekuasaan tiga tahun), bagi saya, agak makar karena bertentangan dengan konstitusi yang jelas-jelas membatasi kekuasaan,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.

Apakah karena publik puas dengan kinerja presiden artinya mereka ingin mengubah konstitusi agar Jokowi bisa kembali menjadi presiden untuk ketiga kalinya?

Survei SMRC pada Mei 2021, September 2021, Maret 2022, dan Oktober 2022 menunjukkan mayoritas publik ingin mempertahankan ketentuan masa jabatan presiden hanya 2 kali dan masing-masing selama lima tahun. Dalam empat kali survei tersebut, rata-rata 77 persen publik yang ingin ketentuan itu dipertahankan, sementara yang ingin mengubahnya hanya 13 persen.

Dari 13 persen yang menginginkan ketentuan masa jabatan presiden diubah, yang menyatakan diubah menjadi satu kali selama lima tahun rata-rata 43 persen, satu kali selama 8 tahun 7 persen, satu kali selama 10 tahun 4 persen, tiga kali dengan masing-masing lima tahun 27 persen, dan boleh lebih dari tiga kali dengan masing-masing lima tahun 17 persen. Ada 2 persen yang tidak jawab.

Saiful menjelaskan bahwa dari 13 persen yang ingin perubahan, mayoritas mereka menginginkan masa jabatan presiden justru dipersempit, bukan ditambah lebih dari dua kali.

Menurut Saiful, data ini menunjukkan fenomena yang menarik. Di satu sisi rakyat memuji kinerja Presiden Jokowi. Tapi di sisi yang lain, prosedur pemilu, demokrasi, dan pembatasan kekuasaan juga dipegang oleh masyarakat. Kinerja presiden yang dinilai baik bukan berarti bahwa dia harus terus berkuasa.

“Toleransi terhadap penambahan kekuasaan hanya karena kinerja baik adalah sumber otoritarianisme,” kata penulis buku Muslim Demokrat itu.

Karena jika setelah ditambah masa jabatannya dan ternyata kinerja bagus, maka akan ada peluang untuk tambah masa jabatan lagi.

Survei ini juga menunjukkan mayoritas warga, 59 persen, tidak setuju atau sangat tidak setuju Presiden Jokowi kembali menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya di pemilihan 2024 nanti. Yang setuju hanya 36 persen dan yang tidak punya sikap 6 persen.

Dalam tabulasi silang, ditemukan bahwa baik yang puas maupun yang tidak puas pada kinerja presiden, mayoritas menginginkan agar ketentuan masa jabatan presiden dua kali dan masing-masing selama lima tahun dipertahankan.

Dari 69,6 persen yang mengaku puas dengan kinerja presiden Jokowi (dalam 4 kali survei), 76 persen menginginkan masa jabatan presiden 2 kali masing-masing 5 tahun dipertahankan. Yang menyatakan harus diubah 14 persen, yang tidak jawab 9 persen. Sementara dari 28,3 persen yang tidak atau kurang puas terhadap kinerja presiden, 81 persen menyatakan ketentuan masa jabatan presiden harus dipertahankan, hanya 11 persen yang menyatakan harus diubah, dan ada 8 persen yang tidak menjawab.

Menurut Saiful, data ini menunjukkan bahwa tidak ada dasar untuk mengatakan bahwa rakyat menginginkan Jokowi untuk kembali menjadi presiden. Menurut dia, ini mengindikasikan bahwa sudah ada kesadaran konstitusional di tengah masyarakat.

“Bahwa konstitusi menyatakan hanya dua periode, ya itulah yang ditaati oleh masyarakat. Inilah yang disebut sebagai demokrasi konstitusional, bahwa demokrasi kita didasarkan pada konstitusi dan aturan-aturan yang berlaku,” tegasnya.

Saiful mengingatkan bahwa anggota MPR, baik dari DPR maupun DPD, adalah wakil rakyat atau publik. Jika langkah-langkah mereka tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh publik (seperti yang tercermin dalam observasi survei), itu berarti mereka tidak bisa mengklaim mewakili publik.

Saiful melihat, dalam wacana perpanjangan masa jabatan presiden, ada langkah-langkah di MPR yang mencoba mengabaikan unsur aspirasi publik.

“Itu adalah jalan menuju otoritarianisme,” kata Saiful.

Perilaku elite, lanjut Saiful, sering tidak mencerminkan konstituen mereka.

Saiful melihat bahwa ada kecenderungan elite tidak mempertimbangkan aspirasi rakyat. Kalau elite di MPR melakukan perubahan konstitusi dan itu tidak sesuai dengan aspirasi publik, apa risikonya? Itu yang menurut Saiful sedang dihitung oleh elite. Apakah publik akan marah? Kalau marah, apakah akan terkendali atau tidak? Bagaimana caranya agar keinginan itu tercapai tapi tidak menimbulkan korban, ketidakamanan, dan instabilitas politik.

Jadi bagi elite, ini bukan soal mendengarkan atau tidak mendengarkan suara rakyat. Yang paling penting bagi mereka, menurut Saiful, adalah adanya perubahan dan masyarakat terkendali. Kalau pun ada gerakan dari masyarakat, gerakan itu bisa terkendali oleh aparat.

Namun demikian, Saiful mengingatkan bahwa ada elite lain yang memiliki aspirasi berbeda. Mereka tidak mayoritas, umumnya diwakili oleh partai-partai di luar pemerintah, yaitu partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jumlahnya hanya seikitar 15 persen atau sekitar 20 juta warga. Jika ini bergerak, misalnya hanya 10 persennya, ini akan cukup merepotkan jika dimobilisasi.

Karena opini publik yang begitu kuat menginginkan tidak ada perubahan tentang masa jabatan presiden, maka partai seperti PKS dan Demokrat kemungkinan akan mengambil manfaat dari sini karena ada kekuatan yang sangat besar mendukung mereka. Kalau kedua partai ini berdiri di depan tentang hal ini, mereka akan mewakili aspirasi mayoritas tersebut. Ini akan bisa menjadi sumber solidaritas, setidaknya sebagai pembangkangan terhadap pejabat-pejabat publik.

Selain itu, kekuatan politik sekarang juga mulai mengalami perubahan. Nasdem, misalnya, adalah partai pendukung pemerintah, namun belakangan memiliki sikap yang berbeda. Mereka sudah mendeklarasikan calon presiden dan ingin melihat hasil Pemilu 2024. Karena itu, menurut Saiful, tidak mudah mengkonsolidasikan kekuatan elite untuk sepakat tentang ide penundaan pemilu atau presiden tiga periode.

Jika PKS, Demokrat, dan Nasdem tidak sepakat, maka amandemen konstitusi tidak akan mudah dilakukan.

Namun poin pentingnya, kata Saiful, adalah bahwa isu ini belum berakhir. Masih muncul pernyataan Ketua MPR dan DPD tentang ide penundaan pemilu. Presiden bahkan masih bisa mengeluarkan dekrit tentang hal tersebut.

“Bagi siapa pun yang memiliki komitmen terhadap demokrasi konstitusional kita, kita harus waspada tentang hal ini,” tutup Saiful. (dam)

Exit mobile version