Kasus Suap Rp 50 M, KPK Tangkap AKBP Bambang Kayun dari Mabes Polri

Tersangka-AKBP-Bambang-Kayun

Ketua KPK Firli Bahuri saat melakukan konferensi pers penahanan tersangka AKBP Bambang Kayun, di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (3/1/2023). Foto: Youtube KPK.

INDOPOS.CO.ID – Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tersangka Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Bambang Kayun (BK) selaku Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan Hak Asasi Manusia (HAM) Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri.

Penahanan salah satu pejabat di Mabes Polri tersebut terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa suap dan gratifikasi dengan pemalsuan surat dalam perkara perebutan hak ahli waris PT ACM (Aria Citra Mulia).

Untuk kepentingan dan kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka BK untuk 20 hari pertama, terhitung dari tanggal 3 Januari 2023 sampai 22 Januari 2023 di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur.

Ketua KPK Firli Bahuri dalam konstruksi perkara menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari adanya pelaporan ke Bareksrim Mabes Polri terkait dugaan pemalsuan surat dalam perebutan hak ahli waris PT ACM (Aria Citra Mulia) dengan pihak terlapor ES (Emilya Said) dan HW (Herwansyah).

“Atas pelaporan tersebut, ES dan HW melalui rekomendasi salah seorang kerabatnya kemudian diperkenalkan dengan tersangka BK yang saat itu dimutasi sebagai Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri untuk berkonsultasi,” jelas Firli dalam konferensi pers penahanan tersangka BK, di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (3/1/2023).

Sebagai tindak lanjutnya, sekitar bulan Mei 2016 bertempat di salah satu hotel di Jakarta dilakukan pertemuan antara ES dan HW dengan tersangka BK.

Dari kasus yang disampaikan ES dan HW ini, tersangka BK kemudian diduga menyatakan siap membantu dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang dan barang.

“Tersangka BK lalu memberikan saran di antaranya untuk mengajukan surat permohonan perlindungan hukum dan keadilan terkait adanya penyimpangan penanganan perkara yang ditujukan pada Kepala Divisi Hukum Mabes Polri,” jelasnya.

Menindaklanjuti permohonan dimaksud, tersangka BK lalu ditunjuk sebagai salah satu personel untuk melakukan verifikasi termasuk meminta klarifikasi pada Bareskrim Polri.

Sekitar Oktober 2016, dilakukan rapat pembahasan terkait perlindungan hukum atas nama ES dan HW dilingkup Divisi Hukum Mabes Polri dan tersangka BK kemudian ditugaskan untuk menyusun kesimpulan hasil rapat yang pada pokoknya menyatakan adanya penyimpangan penerapan hukum termasuk kesalahan dalam proses penyidikan.

“Dalam perjalanan kasusnya, ES dan HW lalu ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareksrim Polri. Terkait penetapan status tersangka ini, atas saran lanjutan dari tersangka BK maka ES dan HW mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujarnya.

Dengan saran tersebut, tersangka BK menerima uang sekitar Rp5 miliar dari ES dan HW dengan teknis pemberiannya melalui transfer bank menggunakan rekening dari orang kepercayaannya.

Selama proses pengajuan praperadilan, diduga tersangka BK membocorkan isi hasil rapat Divisi Hukum Mabes Polri untuk dijadikan bahan materi isi gugatan praperadilan, sehingga hakim dalam putusannya menyatakan mengabulkan dan status penetapan tersangka tidak sah.

Tersangka BK, sekitar bulan Desember 2016 juga diduga menerima 1 unit mobil mewah yang model dan jenisnya ditentukan sendiri oleh tersangka BK.

Sekitar bulan April 2021, ES dan HW kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareksrim Mabes Polri dalam perkara yang sama.

Diduga tersangka BK kembali menerima uang hingga berjumlah Rp1 miliar dari ES dan HW untuk membantu pengurusan perkara dimaksud sehingga keduanya tidak kooperatif selama proses penyidikan hingga akhirnya ES dan HW melarikan diri dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) penyidik Bareskrim Mabes Polri.

Selain itu, tersangka BK menerima uang secara bertahap yang diduga sebagai gratifikasi dan berhubungan dengan jabatannya dari beberapa pihak yang jumlah seluruhnya sekitar Rp50 miliar.

Tim penyidik KPK terus mengembangkan lebih lanjut informasi dan data terkait dengan perkara ini.

Atas perbuatannya, tersangka BK disangkakan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (dam)

Exit mobile version