INDOPOS.CO.ID – Pemerintah dinilai kembali melakukan kesalahan berulang, menyusul penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja.
Pemerintah mengklaim Perppu tersebut menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta Prof Ni’matul Huda bahwa putusan MK nomor 91 Tahun 2020 tentang uji formil UU Cipta Kerja memerintahkan kepada pembentuk UU Cipta Kerja untuk melakukan perbaikan Undang-Undang selama 2 tahun dengan melibatkan partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation).
“Artinya, pemohon melalui permohonan uji formil ini mempersoalkan minimnya partisipasi publik dalam pembentukan UU tersebut. Dan MK mengabulkan permohonan tersebut. Berarti apa yang didalilkan oleh permohon terbukti di MK,” kata Ni’matul melalui gawai, Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Maka, pembentuk UU dalam merevisi Undang-Undang Cipta Kerja harus melibatkan partisipasi publik secara penuh. Sisi lain, terkait penggunaan metode omnibus law dalam penyusunan Undang Undang Cipta Kerja dipersoalkan.
Sebab metode omnibus law belum diakomodir dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga dipandang pembentukan UU Cipta Kerja tidak merujuk ke UU PPP.
“Menurut saya, yang seharusnya dilakukan pembentuk UU dalam merevisi UU Cipta Kerja menggunakan UU Nomor 13 Tahun 2022,” ucap Ni’matul.
Mungkin bisa dimulai revisi per klaster dan melibatkan partisipasi publik di dalamnya. Misalnya terkait ketenagakerjaan, maka orang atau kelompok masyarakat atau asosiasi buruh diminta masukannya.
Namun, yang kemudian dilakukan pemerintah (presiden) bukannya melaksanakan putusan MK tersebut tetapi justru mengeluarkan perpu Nomor 2 Tahun 2022 – yang di dalam konsiderannya menyatakan Perpu tersebut menindaklanjuti Putusan MK.
Perppu bukan menindaklanjuti putusan Mk, tetapi mengesampingkan atau menganulir putusan MK. Kenapa? karena pembentukan Perppu merupakan hak presiden (subjektif) yang dijamin dalam Pasal 22 UUD 1945, dan Perppu akan menjadi objektif nantinya setelah disetujui oleh DPR.
“Jadi, pemerintah nampaknya tidak mau membuka ruang partisipasi publik dalam merevisi UU Cipta Kerja. Anda bisa lihat bagaimana dulu UU ini dikerjakan secara tertutup dan disahkan sangat cepat,” nilainya.
“Sekarang kebijakan presiden lagi-lagi berulang tanpa partisipasi publik. Kebijakan akhir tahun 2022 yang menyedihkan bagi rakyat,” sambungnya.(dan)