Kasus Pejabat DJP yang Pamer Harta Bisa Turunkan Target Rasio Pajak

BY

Pengamat ekonomi selaku Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.(Istimewa)

INDOPOS.CO.ID – Kasus pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rafael Alun Trisambodo yang memamerkan harta kekayaan bisa berdampak pada menurunnya trust publik terhadap institusi pajak.

Kepercayaan masyarakat yang tergerus oleh perilaku pejabat ini akan membawa dampak lanjutan yaitu menurunnya target rasio pajak yang sudah ditetapkan pemerintah.

Pengamat ekonomi selaku Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menegaskan pejabat terutama yang berkaitan dengan pajak harus memberi teladan ke masyarakat.

“Kondisi ekonomi masih baru pulih dari pandemi, itupun angka kemiskinan masih tinggi, pengangguran masih banyak. Kalau ada pejabat atau keluarga yang pamer harta di tengah kondisi masyarakat yang terjepit ekonomi nanti ada masalah trust issue dengan pembayaran pajak,” tandas Bhima kepada indopos.co.id, Kamis (2/3/2023).

Momentumnya saat ini, kata Bhima, pas dengan pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak, dan pemerintah juga sedang genjot rasio pajak agar tidak jatuh di bawah 10%.

“Peristiwa pejabat pajak yang pamer harta bisa menurunkan target rasio pajak. Bangun kembali kepercayaan akan butuh waktu lama,” ungkap Bhima.

“Pemerintah harus usut tuntas aliran dana terutama aset pejabat pajak yang tidak dilaporkan di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Jadikan kasus ini menjadi pembelajaran pentingnya transparansi dan etika dari pejabat negara,” tambahnya.

Menurut Bhima, ada beberapa masalah terkait pengawasan internal pegawai pemerintah yang menjadi catatan.

Pertama, pengawasan internal kementerian lemah, jadi kurang proaktif melakukan penelusuran terhadap kejanggalan kenaikan harta aparatur sipil negara (ASN).

“Kalau dilihat dari LHKPN Rafael Alun Trisambodo, kan ada keganjilan tahun 2013-2014 naiknya sampai Rp 10 miliar lebih. Kemudian di 2019-2020 naiknya juga sekitar Rp 10 miliar. Harusnya proaktif untuk audit, kerja sama dengan PPATK menelusuri aliran uang,” ujarnya.

Kedua, sistem whistle blower tidak bekerja dengan baik. Sebenarnya di internal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah ada sistem pelaporan sesama pegawai. Kalau ada atasan memiliki harta mencurigakan, apalagi ada kaitan dengan suap misalnya sesama pegawai bisa saling melapor.

‘Ini perlu didorong, ada keberanian dari pegawai untuk bicara asal buktinya kuat,” kata Bhima.

Ketiga, perlu dilakukan evaluasi terhadap rangkap jabatan, pejabat yang aktif menjadi komisaris, atau memiliki bisnis yang sarat konflik kepentingan.

“Selama ini seolah pemerintah membiarkan pejabat jadi komisaris aktif baik di BUMN maupun perusahaan swasta. Padahal itu menjadi awal masuknya uang yang tidak wajar,’ tutup Bhima. (dam)

Exit mobile version