Blunder Kajati DKI Soal Tawaran Restorasi Justice Bagi MDS Cs

blonder

Direktur Eksekutif Komite Pemberantasan Mafia Hukum (KPMH) Habib Muannas Alaidid. Foto: ist.

INDOPOS.CO.ID – Direktur Eksekutif Komite Pemberantasan Mafia Hukum (KPMH) Habib Muannas Alaidid menilai wacana Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta yang mengusulkan agar dilakukan restorative justice terhadap kasus CDO (17) dengan AG (15) adalah sebuah sikap yang blunder.

“Ramai pernyataan kontroversi Kajati (Kepala Kejati) DKI, jika benar dia bicarakan soal restorasi justice dalam konteks anak AG konon berkaitan dengan pelimpahan berkas perkara yang diterima dari penyidik ke Kejaksaan, ini blunder, pernyataan memalukan dari pejabat tinggi Kejaksaan,” katanya dalam keterangannya, Jumat (17/3/2023).

Menurut Muannas, dalam konstruksi hukum yang ada, kasus yang melibatkan anak di bawah untuk bisa dilakukan upaya di luar proses hukum normatif.

Namun, kata dia, konteks itu tidak bisa diartikan langsung dalam kaitan restorative justice, melainkan diversi. Dimana diversi memiliki makna pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Konteks diversi ini tertuang di dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang berbunyi ; Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.

Tersangka Mario Dandy Satriyo. (Twitter/@Paltiwest)

“Menurut UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) penyelesaian kasus di luar proses hukum itu seharusnya disebut diversi bukan restorasi justice (RJ),” jelasnya.

Lebih lanjut, persoalan diversi pernah diupayakan oleh Kepolisian dalam hal ini Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Namun pada akhirnya AG ditangkap dan ditahan untuk proses hukum lebih lanjut pun menjadi keputusan Kepolisian untuk mengambil kebijakan ini ketimbang proses di luar persidangan.

“Polisi punya alasan tepat menaikkan status anak AG sesuai Pasal 32 ayat 2 UU Nomor 11/2012 tentang SPPA, sebab Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat,” ujarnya.

Dua alasan yang bisa membuat anak di bawah umur bisa ditahan, yakni telah berumur 14 tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tahun atau lebih.

Sementara AG dijerat dengan Pasal 76C juncto Pasal 80 UU Perlindungan Anak, Pasal 355 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 56 KUHP subsider Pasal 354 (1) juncto Pasal 56 lebih subsider Pasal 353 (2) juncto Pasal 56 lebih lebih subsider Pasal 351 (2) juncto Pasal 56 KUHP.

Jika melihat dari semuanya, Muannas Alaidid menilai wacana restorative justice yang dilakukan oleh Kepala Kejati DKI Jakarta Reda Mantovani untuk penanganan Agnes Gracia Haryanto terhadap Cristalino David Ozora adalah blunder.

Muannas juga memandang bahwa apa yang dialami oleh Cristalino David Ozora Latumahina, berupaya penganiayaan dan kekerasan hingga membuatnya koma, tidak bisa serta merta dibawa ke ranah diversi ataupun restorative justrice. Apalagi, pihak keluarga korban pun sampai dengan saat ini tidak ingin membuka ruang damai.

Syarat diversi sesuai dengan Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 11/2012 tentang SPPA, yang berbunyi ;

Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:

a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

“Kasus ini tetap harus diproses hukum, sebab ini penganiayaan berat bukan ringan bahkan sudah direncanakan, ada korbannya dan telah menimbulkan kerugian besar bagi korban baik materill maupun immateriil, jelas tak ada diversi dan tak ada restorasi justice, makanya aneh bila Kajati tetap tawarkan damai bila jelas tak penuhi sarat UU,” pungkasnya. (fer)

Exit mobile version