INDOPOS.CO.ID – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membentuk norma baru, mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 4 tahun menjadi 5 tahun dinilai keluar jalur karena itu kewenangan pembentuk Undang-Undang.
MK baru-baru ini mengabulkan permohonan uji materi terkait perubahan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun. Meski Keppres 129/P Tahun 2019 tentang pengangkatan KPK tetap sah hingga masa akhir jabatan pimpinan KPK berakhir di 2023.
Gugatan tersebut dilayangkan langsung oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Ismail Hasani meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menampik putusan MK untuk meluruskan cara berkonstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan. Sekaligus melanjutkan pembentukan panitia seleksi calon pimpinan baru KPK.
“Presiden Joko Widodo, sebaiknya mengabaikan putusan MK ini untuk kepentingan penguatan KPK dan tetap melanjutkan pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK baru,” kata Ismail Hasani dalam keterangannya diterima Sabtu, (27/5/2023).

Sejalan dengan langkah tersebut, Presiden dan DPR selaku pembentuk UU segera menyelenggarakan agenda legislasi membahas perubahan norma dalam UU KPK yang diujikan tersebut.
“Putusan MK terkait masa jabatan ini, akan menimbulkan preseden konstitusional terburuk dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia,” ucap Ismail.
Menurutnya sejak awal memeriksa permohonan Nurul Gufron, MK sudah memaksakan diri melanjutkan perkara tersebut.
Jika merujuk pada kasus-kasus sebelumnya, soal batasan usia, batasan syarat menduduki jabatan, oleh MK dikategorikan sebagai opened legal policy atau kebijakan hukum terbuka, artinya kewenangan pengaturan ada pada organ pembentuk UU yakni DPR dan Presiden.
“Jadi isu usia calon dan masa jabatan pimpinan KPK bukanlah isu konstitusional melainkan kebijakan hukum terbuka. Hanya saja MK tidak konsisten dalam memperlakukan norma-norma sejenis ini,” nilainya.(dan)