INDOPOS.CO.ID – CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menegaskan agar Presiden Jokowi jangan ikut campur atau cawe-cawe dalam perhelatan Pilpres 2024 demi kepentingan bangsa.
Menurutnya, seorang presiden harus bersikap netral. “Sehinga pernyataan Jokowi beberapa waktu lalu yang tegas ingin ikut cawe-cawe di Pilpres walaupun dibungkus dengan alasan demi “bangsa dan negara”, keberlanjutan pembangunan, dan stabilitas politik, itu tidaklah sehat untuk keberlangsungan demokrasi di negeri ini,” ucap Pangi dalam keterangannya kepada INDOPOS.CO.ID, Sabtu (3/6/2023).
Ia menjelaskan, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan sangat layak skeptis terhadap pernyataan Jokowi yang memakai jargon “demi bangsa dan negara” atau mengatasnamakan rakyat.
“Pernyataan Presiden Jokowi yang mengatasnamakan demi kepentingan “Bangsa dan Negara”, saya menilai presiden lebih ingin melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya, mempertahankan pengaruh politiknya, imunitas hukum dari kemungkinan atas kebijakan yang bermasalah ditemukan di kemudian hari,” tegasnya.
Sebagai analis politik, Pangi mengatakan terdapat lima dampak negatif yang harus dipertimbangkan secara serius atas campur tangan Presiden Joko Widodo dalam menentukan penerusnya pada pemilihan presiden 2024.
Pertama, netralitas institusi. Yaitu, campur tangan Jokowi dapat mengaburkan garis pemisah antara kekuasaan eksekutif dan lembaga negara lainnya.
“Pemerintahan yang seharusnya netral dalam memfasilitasi pemilihan dan menjamin proses demokratis menjadi terlihat tidak objektif. Hal ini dapat merusak integritas lembaga negara, menciptakan kesan bahwa keputusan politik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau partisan,” ucapnya.

Kedua, pengurangan pluralitas dan partisipasi. Memurunya, campur tangan Jokowi dalam menentukan penerusnya bisa mengurangi pluralitas politik dan partisipasi warga negara.
“Dalam demokrasi yang sehat, rakyat seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih calon presiden sesuai dengan preferensi mereka. Namun, jika presiden saat ini memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan calon, hal itu dapat membatasi pilihan politik warga negara atas munculnya kandidat potensial dan merampas hak mereka untuk terlibat secara aktif dalam proses politik,” terangnya.
Ketiga, potensi kekuasaan berlebihan. Kata Pangi, campur tangan Jokowi dapat menimbulkan kekhawatiran tentang akumulasi kekuasaan yang berlebihan. Dalam demokrasi, penting untuk memastikan adanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
“Jika presiden terlibat secara aktif dalam menentukan calon penerusnya, hal itu dapat menciptakan ‘preseden’ yang berbahaya di mana presiden memiliki kendali penuh terhadap proses politik dan pemilihan,” tuturnya..
Keempat, kehilangan epercayaan publik. Campur tangan Jokowi, ujar Pangi, dapat merusak kepercayaan publik (distrust) terhadap proses pemilihan dan integritas lembaga-lembaga terkait.
“Jika masyarakat merasa bahwa proses pemilihan tidak adil atau terdistorsi karena campur tangan presiden, maka mereka dapat kehilangan kepercayaan pada sistem politik dan pemimpin yang dipilih. Ini dapat menghasilkan ketidakstabilan sosial dan politik, serta mengurangi legitimasi pemerintah yang akan datang,” ucapnya.
Dampak negatif kelima adalah pembatasan inovasi politik. Lanjut Pria asal Sumatera Barat ini, dengan campur tangan presiden dalam menentukan penerusnya, ada risiko terjadinya stagnasi politik.
“Calon-calon yang mungkin memiliki visi baru, gagasan inovatif, atau perspektif yang berbeda mungkin akan terhalang oleh pengaruh presiden saat ini. Hal ini dapat menghambat perkembangan demokrasi dan mencegah perubahan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah dan dinamis,” pungkasnya. (dil)