INDOPOS.CO.ID – Hari ini, Selasa (12/9/2023), pasangan bakal calon presiden-bakal calon wakil presiden (bacapres-bacawapres) Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (AMIN) serta elite dari Partai NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dijadwalkan silaturahmi ke Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Momen inipun dinilai sebagai tahapan krusial atau jalan terjal apakah PKS dukung atau menarik diri kelar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Hal tersebut ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Sholeh Basyari.
“Silatutahmi perdana kunjungan Muhaimin ke Markas PKS ini adalah bisa disebut tahapan paling krusial bagi dukungan PKS ke pasangan AMIN. Kenapa? Sebab secara historis ada jalan terjal hubungan PKB dan PKS yang keduanya adalah reinkarnasi dari warisan politik aliran pemilu pertama tahun 1955,” kata dia mengawali pembicaraannya dengan INDOPOSCO, Selasa (12/9/2023).
Menurut Sholeh pada pemilu tersebut, kekuatan politik Islam menyatakan menyatukan diri dalam Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
“Tragisnya, sebelum pemilu terjadi (tahun 1955), tepatnya pada Muktamar Palembang 1952, NU (Nahdlatul Ulama) keluar dari konfederasi kekuatan politik Islam ini,” ucap Sholeh.
Penyebab utama perpecahan tersebut, ucap dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini adalah power sharing yang tidak ideal.
“Menurut NU, saat itu mereka yang mengendalikan basis elektoral paling banyak, namun mendapatkan kursi paling sedikit; dari 45 kursi legislatif Masyumi, hanya 8 kursi untuk NU,” terangnya.
Sholeh mengatakan, alasan perpecahan juga dipicu oleh “kreativitas” Moh Natsir yang men-downgrade majelis Syura yang awalnya pimpinan tertinggi, menjadi dewan penasehat, yang tidak memiliki otoritas teknis dan kebijakan kepartaian.
Merujuk pada sejarah perpolitikan NU dan Masyumi itulah, Sholeh pun menjelaskan tiga sebab lainnya PKS masih setengah hati menerima Muhaimin sebagai bacawapres Anies Baswedan.
“Sekurang-kurangnya ada tiga alasan PKS maju mundur menerima Muhaimin Iskandar. Pertama, Muhaimin adalah “pewaris” tunggal politik aliran yang merepresentasikan kekuatan NU,” tuturnya.
Muhaimin bisa disebut sebagai The Next Wahid Hasyim. Dengan beban sejarah ini, kata Sholeh, Muhaimin tidak saja berpotensi menarik diri secara tiba-tiba dari koalisi (seperti yang dilakukan NU jelang pemilu 1955), tetapi yang lebih berbahaya adalah terganggunya konsolidasi PKS demi keluar dari kelompok oposan.
Kedua, jika pada pemilu 1955, penyebab keluarnya NU dari Masyumi adalah power sharing yang tidak ideal, dengan master mind Natsir, dengan kecerdikannya Muhaimin bisa saja memainkan peran sebagai Natsir dan menggunting posisi-posisi strategis bagi PKS.
“Aktifis PKS juga melihat bahwa ada ‘dendam kesumat’ yang luar biasa di kalangan aktivis NU hingga kini, akibat policy Natsir di masa lalu, bahkan konon hingga meninggalnya Gus Dur tidak memaafkan Natsir (secara politik),” ungkap peraih gelar doktor dalam bidang Filsafat Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) ini.
Alasan ketiga, ujar Sholeh, hal yang paling krusial bagi hubungan politik PKB-PKS adalah terkait ideologi.
“Warna, corak, langgam dan performa PKB-PKS bisa disebut kontras; nyaris seperti minyak dan air, senyawa yang mustahil ber-chemistry. Aktifis-aktifis PKS di masyarakat, masih getol menyuarakan pan-islamisme model Ikhwanul muslimin Mesir, mengusung dan mendesakkan islamisasi bernegara,” terangnya.
Bahkan dalam derajat tertentu, ujarnya, PKS in-line dengan restorasi khilafah, hal dan isu politik yang dipandang sebagai hantu layaknya komunisme, di Indonesia.
“Selebihnya yang paling menyakitkan bagi warga NU, PKS melihat cara berislam kaum Nahdliyyin, sebagai pengagum dan pelestari bid’ah yang tergambar dari statement “almuhafadhah ‘ala qadimis sholih, wal akhdu bil jadid al-ashlah, berpegang pada nilai lama yg masih relevan, sekaligus mengambil nilai baru yang kompatibel dengan kekinian,” terang Sholeh. (dil)