INDOPOS.CO.ID – Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menyatakan protes keras atas sikap Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang mempersingkat tahapan persidangan perkara etik dan perilaku hakim konstitusi yang diduga dilakukan oleh hakim konstitusi yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.
“Sebagai pelapor dalam perkara pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi Nomor: 2/MKMK/L/ARLTP/10/2023, pagi ini, tanggal 1/11/2023 pukul 09.00 WIB, MKMK telah menjadwalkan sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda keterangan pelapor dan penyerahan alat bukti (surat-surat, dll). Tentu sebagai pelapor, kami sangat keberatan jika belum apa-apa ketua MKMK sudah menetapkan akhir masa sidang harus selesai tanggal 7 November 2023, padahal MKMK memiliki jadwal waktu sidang untuk 1 bulan lamanya hingga akhir 24 November 2023,” tandas Koordinator Perekat Nusantara dan TPDI Petrus Selestinus, Rabu (1/11/2023).
Petrus menegaskan, setelah Mahkamah Konstitusi dirusak, kini MKMK-pun dicoba dirusak, MKMK sudah tidak mandiri lagi dan sudah dikendalikan oleh proses politik di KPU bahkan dari istana.
“Jika MKMK tidak memberikan kesempatan secara maksimal kepada pihak pelapor untuk membuktikan laporannya, maka untuk apa masa bhakti MKMK diberikan selama waktu 1 bulan,” ungkap Petrus.
Padahal, kata Petrus, kasus nepotisme Anwar Usman yang sekarang disebut mega skandal, yang menimpa MK saat ini, seharusnya dijadikan momentum perbaikan penegakan hukum, terutama apa yang terjadi saat ini di MK karena faktor nepotisme telah merusak sendi-sendi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan adil sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini tidak sekadar melanggar etika tetapi juga melanggar pasal 24 UUD 1945.
“Ketua Majelis MKMK Prof. Jimly Asshiddiqie harus bisa menjaga dan mengembalikan asas kekuasan Kehakiman yang merdeka dan asas kemandirian MK dan MKMK, guna memulihkan kepercayaan publik yang sudah berada di titik nadir melihat ulah sebagian hakim konstitusi, yang mengorbankan marwah, martabat dan keluhuran hakim konstitusi dan menjadikan dirinya dan isntitusi MK sebagai alat politik,” tegas Petrus.
Ketua MKMK, lanjut Petrus, tidak boleh terpengaruh dengan jadwal dan tahapan pemilu di KPU, karena kondisi MK kini membutuhkan kesabaran semua pihak dengan segala konsekuensi termasuk menunda satu tahapan proses pemilu, demi menghormati proses hukum di MKMK yang kelak akan menentukan jadwal untuk membuka kembali persidangan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan Majelis Hakim Konstitusi yang baru minus Anwar Usman.
“Alasannya, karena secara hukum putusan MK dimaksud telah kehilangan sifat final dan mengikat, karena perintah undang-undang bukan karena putusan MKMK Prof. Jimly Asshiddiqie,” ujarnya.
Putusan MKMK hanya memenuhi perintah pasal 17 ayat (6) UU Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan hakim yang melanggar ketentuan pasal 17 ayat (5), putusannya tidak sah dan kepada hakim yang bersangkutan diberikan sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif inilah yang saat ini diproses oleh MKMK.
“Itu berarti tahap di mana putusan hakim konstitusi untuk perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, serta merta tidak sah, sudah terjadi sejak diucapkan tanggal 16 Oktober 2023, sekaligus menegasikan sifat final dan mengikat terhadap putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/ 2023, dan menggugurkan hak Gibran Rakabuming Raka. Namun demikian pasal 17 ayat (7) UU Nomor 48 Tahun 2009, memberikan jalan keluar yaitu membentuk majelis hakim yang baru, menyidangkan kembali perkara Nomor 90/PUU-XXI/ 2023, tanpa nepotisme,” jelasnya.
“Dengan posisi demikian berarti keberadaan Gibran Rakabuming Raka harua dipastikan tidak bisa menjadi calon wakil presiden, karenanya KPU harus mengembalikan berkas pendaftaran Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka kepada partai koalisi untuk mengganti Cawapres dan mendaftar ulang. Inilah hukum yang benar secara prosedural, substantif dan esensial,” tambah Petrus.
“Terhadap Hakim Konstitusi Anwar Usman sebagai hakim terlapor, para pelapor menuntut agar diberikan sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengam hormat, demi melepaskan MK dari ketergantungannya kepada nepotisme yang dirancang untuk membangun dinasti politik,” tutup Petrus. (dam)