INDOPOS.CO.ID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberhentikan Firli Bahuri dari jabatan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI). Keputusan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) yang dikeluarkan pada, Kamis (28/12/2023).
Koordinator Staf Khusus Presiden RI, Ari Dwipayana mengonfirmasi hal tersebut. Ketentuan Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan.
“Pada tanggal 28 Desember 2023, Presiden telah menandatangani Keppres Nomor 129/P Tahun 2023, tentang pemberhentian Bapak Firli Bahuri sebagai Ketua merangkap anggota KPK masa jabatan 2019-2024,” kata Ari Dwipayana dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat (29/12/2023).
Firli Bahuri sempat mengirimkan surat pengunduran diri Ketua KPK nonaktif ke Istana. Hanya saja, ada kendala dalam prosesnya. Surat tersebut diduga untuk menghindari sanksi etik dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Firli dinilai melanggar Pasal 16 angka 1 a Peraturan Dewan Pengawas nomor 3 tahun 2021, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 ayat 2 huruf a dijatuhkan sanksi berat. Dia sempat bertemu dengan eks Mentan Syahrul Yasin Limpo terkait penanganan perkara di Kementan tahun 2021.
Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan, sejumlah poin pelanggaran yang bersangkutan hingga berujung menerima sanksi berat. Salah satunya, melakukan pertemuan dalam penanganan perkara oleh KPK.
“Sanksinya sanksi berat, diminta untuk mengundurkan diri. Pelanggaran yang dilakukan ada tiga. Satu mengadakan hubungan langsung dan tidak langsung dengan pihak lain, yang ada kaitannya perkaranya ada di KPK,” ujar Tumpak secara terpisah saat jumpa pers putusan Dewas KPK di Jakarta, Rabu (27/12/2023).
Pelanggaran kedua, tidak melaporkan pertemuan tersebut kepada pimpinan KPK lainnya. Padahal aturan dalam lembaga anti-rasuah itu harus saling menginformasi bila bertemu pihak berperkara.
“Pertemuan itu tidak dilaporkan dengan pimpinan yang lain. Itu kesalahan, ada kewajiban di kami kalau terjadi yang sedemikian harus saling memberitahu. Dewas juga begitu,” jelas Tumpak.
Pelanggaran ketiga, Firli tidak jujur ihwal Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Mengingat ada temuan soal valuta asing (valas) senilai Rp7,4 miliar. Termasuk pembayaran sewa rumah di Jalan Kertanegara.
“Berhubungan dengan adanya harta dengan valas-valas, termasuk juga bangunan dan aset yang tidak dilaporkan LHKPN. Ini suatu perbuatan yang tidak memberikan keteladanan sebagai pimpinan KPK,” jelas Tumpak. (dan)