INDOPOS.CO.ID – Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kurang tepat menyebutkan, presiden boleh berkampanye dan memihak dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024.
“Cara berpikir Presiden Jokowi yang mengatakan, boleh kampanye itu cara berpikir yang menempatkan Presiden semata-mata sebagai jabatan politik,” kata Ubedilah melalui gawai, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Menurutnya, pernyataan itu secara terang benderang melanggar undang-undang. Sebab menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengamanatkan beberapa ketentuan yang menekankan perlunya netralitas presiden
“Dia sangat keliru dan bahkan bisa melanggar UUD 1945,” ucap Ubedilah.
Sebab, Presiden bukan sekadar jabatan politik tetapi menurut UUD 1945 melekat pada dirinya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Di sisi lain, misalnya pasal 48 ayat (1) huruf b UU menetapkan, bahwa KPU harus melaporkan pelaksanaan seluruh tahapan pemilu dan tugas-tugas lainnya kepada DPR dan Presiden.
Maka posisi struktural itu (KPU lapor ke Presiden) menunjukkan, bahwa presiden bukan menjadi bagian yang terlibat dalam proses kontestasi elektoral. Tujuannya menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
“Agar tidak ada abuse of power dalam proses pemilihan umum,” kritiknya.
Selain itu, dalam pasal 299 UU Pemilu disebutkan bahwa yang boleh kampanye adalah mereka yg sudah didaftarkan sebagai juru kampanye atau tim kampanye.
“Lah, Jokowi memang sudah didaftarkan ke KPU jadi juru kampanye atau tim kampanye? Tidak ada nama Jokowi di tim Prabowo,” ujarnya.
“Faktanya ia telat turut mengampanyekan Prabowo dan bahkan kampanye untuk partai yang dipimpin anaknya,” tambah Ubedilah.
Presiden Jokowi menyatakan, bahwa seorang kepala negara diperbolehkan melakukan kampanye saat pemilu. Juga boleh memihak pasangan calon tertentu.
“Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh,” terang Jokowi di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024) kemarin.
Jokowi menekankan, dalam berkampanye tentu tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
“Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini nggak boleh, berpolitik nggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh,” tegas Jokowi. (dan)