Pergerakan Advokat Tolak Pandangan soal Presiden Boleh Berkampanye Langgar Hukum

Jokowi-4

Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta. Foto: Dok Setkab

INDOPOS.CO.ID – Pergerakan Advokat Untuk Transformasi Hukum Indonesia (PATHI) menolak pandangan, bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat memihak dan berkampanye dalam pemilihan umum (pemilu) dianggap melanggar hukum. Seharusnya sebagian pihak memahami substansi dalam ketentuan perundang-undangan.

Pandangan tersebut sempat diungkapkan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menanggapi Presiden Joko Widodo (Jokowi), menyatakan presiden dan menteri boleh memihak serta kampanye dalam Pemilu. Menurut dia, keberpihakan presiden dan menteri justru melanggar hukum dan etik.

Menurut Deklarator Pergerakan Advokat Untuk Transformasi Hukum Indonesia Yudo Prihartono, pandangan tersebut menunjukkan ketidakpahaman Bivitri Susanti terhadap ketentuan pasal 28 C Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pasal 23 ayat 1 UU Hak Asasi Manusia (HAM), dan secara khusus pasal 281 UU Pemilu.

Secara hukum, ketentuan pasal 282 UU Pemilu yang memuat larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, pejabat fungsional dan kepala desa untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu dalam masa kampanye.

“Haruslah dibaca dengan “Penafsiran Sistematis” dengan ketentuan Pasal 281 UU Pemilu, yang telah mengecualikan bahwa Presiden, Menteri dan Kepala Daerah dapat diikutsertakan dalam Kampanye Pemilu dengan segala ketentuan terkait,” kata Yudo Prihartono dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Kampanye Pemilu itu sudah pasti merupakan “tindakan” yang menguntungkan salah satu peserta pemilu dan dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan, sepanjang tidak menyalahgunaan fasilitas negara. Harusnya Bivitri memahami substansi dan penafsiran sistematis atas pasal-pasal tersebut.

“Mengikuti kampanye pemilu jelas bukanlah merupakan suatu tindakan “menguntungkan atau merugikan” sebagaimana dimaksud pasal 282 UU Pemilu. Jika kita mengikuti pemikiran Bivitri, maka tidak perlu ada pasal 281 UU Pemilu,” ucapnya.

Menurut Bivitri, anggapan regulasi membolehkan presiden dan menteri berpihak itu salah. “Mungkin Pak Jokowi mengacu ke Pasal 282 UU Pemilu, tapi sebenarnya ada Pasal 280, Pasal 304, sampai 307,” terang Bivitri kepada wartawan, Jakarta, Rabu (24/1/2024).

Pasal-pasal itu, Bivitri mengatakan, membatasi dukungan dari seorang presiden dan pejabat-pejabat negara lainnya untuk mendukung atau membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon. “Jelas pernyataan ini melanggar hukum dan melanggar etik,” imbuhnya. (dan)

Exit mobile version