INDOPOS.CO.ID – Rancangan Perubahan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang diharmonisasi di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendapat sorotan publik. Beberapa ketentuan dalam draft RUU Penyiaran menunjukkan bahwa ada upaya sistematis untuk menggerus demokrasi. Di antaranya melalui upaya untuk mengendalikan konten jurnalistik, yang mengancam kebebasan berekspresi dan hak untuk memperoleh informasi.
“RUU Penyiaran ini memuat beberapa ketentuan yang problematik dan merusak agenda-agenda demokrasi dan demokratisasi, kebebasan pers, kebebasan informasi. Juga agenda-agenda HAM secara umum yang telah diperjuangkan sejak awal era Reformasi,” ungkap Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute Azeem Marhendra Amedi dalam keterangan, Rabu (15/5/2024).
Ia mengatakan, RUU Penyiaran memvalidasi penyempitan ruang-ruang sipil. Laporan tahunan Indeks HAM Setara Institute selalu menunjukkan bahwa skor pada indikator kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat merupakan indikator dengan skor paling rendah pada tiap tahunnya dan tidak pernah mendekati angka moderat dari skor 1-7 dengan rincian skor: 1,9 di tahun 2019; 1,7 pada tahun 2020; 1,6 di tahun 2021; 1,5 pada tahun 2022; dan 1,3 di tahun 2023.
“Artinya, alih-alih menjamin kebebasan berekspresi, RUU Penyiaran justru berpotensi memperburuk situasi kebebasan berekspresi terutama melalui pemasungan kebebasan pers,” ujarnya.
Ia menuturkan, Setara Institute menilai bahwa RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang memiliki intensi untuk mengendalikan kebebasan pers, khususnya jurnalisme investigasi melalui Pasal 50B ayat (2) huruf c RUU Penyiaran. Pasal yang melarang jurnalisme investigasi merupakan upaya untuk mengurangi kontrol terhadap pemerintah.
Padahal, lanjut dia, pilar demokrasi modern salah satunya adalah kebebasan pers yang, antara lain, memberikan ruang bagi jurnalisme investigasi untuk melakukan kontrol atas bekerjanya kekuasaan dan berjalannya pemerintahan.
“Pandangan kami, konten dan produk jurnalistik seharusnya tetap menjadi yurisdiksi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalisme investigasi seharusnya tetap berada di bawah pengaturan UU Pers, meskipun penyiarannya dilakukan melalui televisi ataupun situs internet,” katanya.
“Dalam konteks itu, RUU Penyiaran secara intensional melemahkan UU Pers,” imbuhnya.
Ia menambahkan, ekspansi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana Pasal 8A huruf q RUU Penyiaran untuk melakukan penyelesaian sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran akan mengebiri kewenangan Dewan Pers. Ketentuan tersebut berpotensi mendistraksi kewenangan antara kedua lembaga sehingga melemahkan resolusi dan penyelesaian sengketa jurnalistik yang mungkin terjadi.
Selain itu, masih ujar dia, ketentuan dimaksud melemahkan Dewan Pers sebagai pilar kebebasan pers. Sebab lingkup kewenangan Dewan Pers untuk menjamin kebebasan pers juga meliputi konten jurnalistik yang disiarkan melalui media elektronik.
“Kami menilai perlu adanya pengertian yang lebih jelas pada beberapa istilah dalam RUU Penyiaran. Misalnya, penggunaan istilah konten kreator akan multitafsir dan berpotensi menambah kontrol pada kreator digital perorangan. Hal ini dapat mengurangi ruang gerak penggunaan kebebasan berekspresi individu,” jelasnya.
“Kami juga memandang bahwa RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pada ranah materiil, pelarangan berbagai konten digital bertentangan dengan hak atas informasi yang dijamin pada Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945,” imbuhnya.
Pada ranah formil, imbuhnya, beberapa lembaga dan kelompok seperti Dewan Pers yang belum dilibatkan dalam pembahasan RUU Penyiaran akan mengurangi legitimasi demokratik dari RUU tersebut. Sehingga berpotensi untuk dibatalkan karena abai pada prinsip meaningful participation.
Ia mendorong perubahan substansial pada RUU Penyiaran. Dalam konteks tersebut, SETARA Institute mendesak agar DPR dan Pemerintah memperluas partisipasi publik yang bermakna. RUU Penyiaran harus sepenuhnya menjamin kebebasan pers, kebebasan memperoleh informasi, dan bebas dari desain untuk melakukan kontrol intrusif, eksesif, dan sensor berlebihan.
“Pada puncaknya, RUU Penyiaran harus menjadi bagian dari pilar demokrasi konstitusional, yang menjamin kebebasan pers dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan negara,” ujarnya. (nas)