Oleh: Dahlan Iskan
INDOPOSCO.ID – SYEKH Panji Gumilang sama sekali tidak emosi dimasukkan penjara –dengan tuduhan melakukan penistaan agama Islam. Bahkan, tidak mau naik banding. Tidak mau kasasi. Hukuman satu tahu penjara itu ia jalani begitu saja. Di Indramayu.
Bagi Panji Gumilang, itu bagian dari risiko perjuangan. Ujian hidup dalam mengabdikan diri kepada agama, bangsa, dan negara. Tuduhan anti-Pancasila tidak ia tanggapi. Pun antiagama.
Demo berjilid-jilid ia biarkan. Tidak pernah ia berusaha meredam dengan kemampuan keuangannya. Atau ia kerahkan ribuan santri untuk menggerakkan demo tandingan. Tidak.
Ia begitu yakin tidak berbuat kesalahan apa pun. Kepada agamanya. Apalagi, kepada negara yang amat ia cintainya.
Tidak ada pembuatan senjata di pesantrennya.
Tidak ada bunker di bawah masjid.
Tidak ada rumah ibadah Yahudi di sana.
Semua tuduhan itu telah merusak namanya, tapi ia menyerahkan kepada kebenaran hakiki.
“Saya hanya akan mengajukan PK,” katanya. “Sudah diajukan,” tambahnya. Saya bisa merasakan bagaimana ada orang dimasukkan tahanan dengan alasan yang diada-adakan. Didesakkan.
Tapi, saya tidak pernah mengunjunginya selama Panji Gumilang di penjara. Yang sering datang justru orang seperti Linda dan teman-temannyi: dari Galaruwa –organisasi kebangsaan pembela Pancasila.
Rupanya Panji Gumilang mengisi waktu dengan banyak berhitung selama di penjara. Ia memang selalu ditemani kalkulator. Ukurannya hampir sebesar iPad.
Awalnya saya bertanya-tanya: mengapa ia membawa kalkulator saat menghadiri puncak acara peringatan 25 tahun Al Zaytun. Kalkulator itu ditaruh di meja di depannya. Apa hubungan ulang tahun dengan kalkulator.
Rupanya kalkulator itulah yang menemaninya selama di penjara. ”Untuk apa selalu membawa kalkulator?” tanya saya.
“Untuk menghitung,” jawabnya.
“Menghitung apa?”
“Menghitung angka-angka.”
“Angka-angka apa?”
“Angka apa saja.”
Salah satu yang ia hitung selama di penjara ternyata adalah angka jumlah penduduk Indonesia. Saat Indonesia merdeka pada tahun 1945, jumlah penduduk kita baru 60–70 juta jiwa.
“Sekarang sudah 280 juta,” katanya. “Naik 400 persen lebih,” tambahnya. Padahal, itu hanya dalam kurun 79 tahun.
Panji Gumilang merasa gundah dengan pertumbuhan penduduk itu. Berarti 100 tahun lagi penduduk Indonesia bisa mencapai 700 juta.
Yang ia gundahkan adalah: bagaimana mencukupi pangan mereka.
Saya tidak punya kesempatan diskusi panjang. Saya merasa tidak sopan kalau terus berbincang dengannya –di depan ribuan orang yang sedang membaca Al-Qur’an.
Semua yang hadir di depan kami memang terlihat membuka Qur’an dan membacanya dengan suara lirih. Terdengarlah dengung seperti suara ribuan kumbang lagi terbang bersamaan di dalam masjid.
Acara itu dimulai dengan bacaan “bismillah” bersama. Lalu, menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tiga stanza.
Di Al Zaytun lagu kebangsaan Indonesia harus selalu dinyanyikan lengkap tiga stanza. Itulah lagu Indonesia Raya yang asli. Bukan satu stanza seperti yang umumnya kita nyanyikan sekarang.
Dirigen lagu kebangsaan itu seorang Tionghoa. Pakai baju putih. Berjas. Dasi merah. Berkopiah. Berkaus tangan putih. Namanya: Tan Tjuan Hong.
Bebarapa orang Tionghoa memang hadir di barisan depan. Juga banyak pendeta. Salah satunya Pendeta Robin Simanullang, penulis buku Al Zaytun.
Setelah itu, disusul pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Oleh seorang santri laki-laki. Saya lupa namanya.
Yang tampil berpidato mewakili Al Zaytun adalah Dr Datuk Sir Imam Prawoto, KRSS, SE, MBA, CRBC. Begitu gelarnya. Ia ketua Yayasan Pesantren Indonesia –yang menaungi Al Zaytun.
Ia adalah putra sulung Syekh Panji Gumilang. Sedangkan pengantar acara diberikan oleh ketua panitia yang masih muda: Eji Anugrah Romadhon, SS, MAP.
Setiap pembicara tampil di podium lebih dulu meneriakkan pekik ”Merdeka”. Ada yang sekali. Ada yang tiga kali. Ada yang sebelum “assalamualaikum”. Ada yang sesudahnya. Pun yang membaca Al-Qur’an: mengawalinya dengan pekik ”Merdeka”. Termasuk saat mengakhirinya.
Syekh Panji Gumilang tidak naik podium –meski saya sudah minta dengan sangat agar ia tampil sebelum saya. Alasannya: sudah tiga hari berturut ia bicara di seminar tiga hari di situ.
Tema seminar adalah Remontada from Within –kebangkitan Indonesia dari kekuatan internal Indonesia sendiri.
Maksudnya: agar Indonesia masih tetap eksis sampai 1.000 tahun lagi. ”Indonesia 1.000 tahun.”
Itulah hasil renungan Syekh Panji Gumilang selama hampir satu tahun di dalam penjara. Lalu, jadi tema bahasan ulang tahun pesantrennya yang ke-25.
Oh… Seribu tahun lagi: berapa penduduk Indonesia? (*)
djokoLodang
Kulanuwun
Wilwa
Welcome back Panji Gumilang. Setelah “menebus” selama hampir setahun di penjara. Hmmm. Tak ada yang lebih menggembirakan melihat “pemikir bebas” dibebaskan dari penjara. Indonesia perlu banyak orang yang tak takut mengekspresikan “free thought”. Jadi teringat kisah para pelopor demokrasi/republik 250 tahun lalu di Amerika maupun Perancis. Bila tak ada mereka-mereka yang berani menggebrak tirani monarki yang didukung tirani religi, maka dunia tak akan pernah seperti saat ini, dimana orang bebas menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan. Termasuk pendapat/argumen untuk kembali ke monarki absolut, militer absolut, atau religi absolut. Yang justru bertentangan dengan ide atau gagasan mengenai demokrasi atau republik. Panji Gumilang memang mantan petinggi NII namun toh akhirnya menyadari kekeliruannya mendukung absolutisme dan balik badan menjadi seorang yang berpikiran sangat liberal sekaligus sangat nasionalis. Ini mengingatkan saya pada sosok Gus Dur. Kyai yang setelah menjadi presiden sangat merakyat dan sangat nasionalis. Berdiri di atas semua suku dan agama. Tak cukup toleransi tapi lebih dari itu: EQUALITY atau KESETARAAN. EGALITE. EGALITER. Itulah semangat demokrasi itu sendiri. Kita semua adalah MANUSIA BIASA. Kita egaliter sekaligus Bersaudara. FRATERNITE/BROTHERHOOD. Dengan semangat kesetaraan dan persaudaraan itulah kita berbangsa. Make A Nation. Dan tentu saja MERDEKA / LIBERTE / FREEDOM. Baik secara lahir maupun batin. Duh kena text limit
Achmad Faisol
maaf, komentar ini telat banget dari artikel… pak DI pernah membahas tes dna hingga ada yang mengharamkan untuk leluhur jauh… saya mau bahas dari sisi saintek… urusan hukum agama biar yang berilmu lebih berdebat… frasa “tes dna” terlalu umum… oleh karena itu, harus diperinci sehingga sederhana… berikut salah satu jenis pembagiannya: 1. tes y-dna tes ini khusus dari jalur laki-laki: anak laki-laki – bapak – kakek – kakek buyut – dst… untuk y-dna bisa melacak hingga leluhur terjauh, puluhan ribu tahun… banyak marga berdasarkan keturunan laki-laki saja… nah, bagi marga jenis ini bisa tes y-dna untuk mengetahui mereka punya leluhur yang sama hingga jarak berapa ribu tahun yang lalu… 2. tes dna zig zag tes ini acak, boleh campur jalur ibu dan ayah… sepengetahuan saya, akurasinya hingga sepuluh jalur ke atas… kita hidup tak kan lepas dari saintek… apakah hukum agama peduli atau tidak dengan saintek, biarlah para ahli agama berdebat… yang penting berdasarkan ilmu, bukan emosi… ingat: ilmu, ilmu, ilmu… fyi: di madzhab syafi’i saja pendapat ga cuma satu… beda pendapat itu boleh, ga ada ulama yang melarang, asal berdasarkan ilmu…
Marjan Marjan
Saya ke Al Zaytun awal tahun 2000an. Sebagai pengunjung biasa. Saya keliling Al Zaytun dengan pemandu. Pemandu menjelaskan dari mulai pemilihan lokasi. Pembuatan waduk. Sistem irigasi sawah. Penanaman padi Basmati. Tentunya pengunjung tidak diperkenankan membawa biji padi Basmati walau sebutir. Melihat masjid dan shalat. Saya minta penjelasan konstruksi masjid. Masjid dirancang oleh santri Al Zaytun sendiri. Konstruksinya tahan gempa. Bisa bergoyang ketika ada gempa. Bahkan ketika ribuan jema’ah shalat. Lapangan bola yang berstandar MU. Kemudian saya bertanya juga tentang sistem pendidikan, ideologi, dan sumber pembiayaan. Saat saya mau pulang, saya ucapkan terima kasih dan saya katakan:”Andai tiap camat berpikir membangun wilayahnya seperti Al Zaytun, tentu tiap kecamatan ada universitas dan swasembada pangsn. ”
Udin Salemo
anak macan dipelihara lima tahun nanti jadi penurut. kalau anak kodok dipelihara setelah besar malah lompat pindah ngadem ke pohon beringin gondrong, wkwkwk…
Mirza Mirwan
Tengah malam di kantor DPP PDI Perjuangan Jln. Diponegoro 58 Menteng. “Tokotokotok…tekkeeek.” “Anies,” kata penjaga dalam hati. “Tekkeeek.” “Pak Pram.” “Tekkeeek.” “Anies.” “Tekkeeek.” “Pak Pram.” “Keeek.” “?!?!?…” “Keeek.” “¿¡¿¡¿”
Echa Yeni
AbAsKom DaTiKom AbsenASalKomen DaripadaTidakKomen
Juve Zhang
2029 yg paling ditakuti Buaya itu justru Anak Macan…suaranya 25%…bukan pdip…maka Bandar borong 12 partai…ini jelas melemahkan anak Macan biar tak ikut kontes…pdip paling gampang di gigit buaya…dari suara Ganjaar 32% hingga nyungsep 16%….tapi Anak Macan paling potensi melawan Buaya…maka tak heran penjegalan di Jakrta sangat ketara…bandar borong 12 partai…
Achmad Faisol
kata-kata deddy corbuzier ini sangat menarik: buah jeruk itu, kalau diperas: keluar air jeruk… diperas lagi: keluar air jeruk… diperas hingga mentok: tetap keluar air jeruk… ####### kalau ada orang mengaku berilmu atau alim, jika diserang yang keluar bukan ilmu, tetapi caci-maki dan framing, berarti dia tidak berilmu…
Muh Nursalim
“kamu pantas pidato di gedung PBB” puji ustad kepada santrinya yang baru saja pidato berbahasa inggris. Setelah itu tampil antri yang pidato bahasa Indonesia. Sang guru memuji, “kamu pantas menjadi khotib di masjid istiqlal”. Di Gontor visi besar itu selalu ditanamkan kepada santri. Bukan hanya dengan kalimat tetapi laku keseharian mereka menumbuhkan rasa suatu saat menjadi orang besar. Maka di pondok tersebut ssantri ke sekolah tidak boleh membawa tas. anak-anak membawa kamus munjid yang tebalnya 10 cm, kitab Bidayatul Mujtahid yang juga tebal dengan tangannya. Di balik kerepotan tersebut pengasuh menanamkan visi besar “kamu nanti menjadi ulama besar yang menguasai kitab-kitab besar itu”. Begitulah, Panji Gumilang itu tempaan Gontor. Visinya sangat besar dalam membangun. Terlepas beberapa ajaran yang dinilai menyimpang, visi besar itu ia jalankan di pondoknya.
daeng romli
Pas wes Bah, sepatu yg kelupaan itu segera dikirimkan kepada yg sudah menunggu nunggu dan mengharap harap……hehehehehe
Rihlatul Ulfa
Dalam RAPBN 2025 kenikan belanja tertinggi terjadi pada anggaran pertahanan dan keamanan, anggaran fungsi pertahanan dan keamana pada awal pemerintahan Prabowo melonjak 12,3 persen atau menjadi Rp 40,4 triliun. Anggaran tersebut akan dibelanjakan untuk memodernisasi alat material khusus kepolisian atau almatsus Kepolisian RI, transformasi dan obat berbahaya, keamanan teknologi informatika dan komunikasi dari ancaman siber, peningkatan kemampuan industri strategis nasional, serta pencegahan dan penanggulangan terorisme. Dradjad Wibowo sebagai anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo – Gibran, mengatakan latar belakang militer Prabowo mempengaruhi pendekatan pembangunan dan ekonomi, Drajad mengatakan Kementerian Pertahanan akan menjadi lembaga utama yang menopang pembangunan di Tanah Air.
Fa Za
Pada tulisah CHD tahun lalu (25-5-2023) berjudul Zaytun Jas, Abah Dis bercerita meminjam jas dari pesantren Al Zaytun, namun lupa mengembalikannya saat pulang. Apakah kali ini Abah Dis membawa jas yg dipinjam setahun yg lalu itu dan mengembalikannya? Sepertinya juga tetap lupa. Wkwkkk….
Beny Arifin
Memang sudah paling benar PDIP tidak mencalonkan Anies. Gap ideologi sudah terlalu jauh. Tidak bagus kalau dipaksakan. Potensial menimbulkan drama di masa mendatang. Berarti PDIP juga sudah siap tidak akan menang. Tidak menang itu dianggap masih lebih baik daripada potensi drama masa depan tadi. Mengingat Golkar bisa balik badan di Banten, masih memungkinkan juga PKS/PKB balik badan pula mendukung Anies di Jakarta. Kita tunggu kejutan diakhir waktu pendaftaran.
Liáng – βιολί ζήτα
iseng-iseng saja Jangan terlalu serius, ini peristiwa masa lalu, kita hanya belajar memetik hikmahnya. Beberapa bulan sebelum pemilu, saya dan teman-teman mencoba untuk melakukan penelitian psikologi secara singkat terhadap beberapa keluarga korban kerusuhan Mei 1998 yang lalu, secara psikologis bagaimana reaksi mereka terhadap pencalonan Pak Prabowo Subianto sebagai Capres RI untuk pemilu 2024. Kesulitan terbesar kami justru menemukan domisili mereka – keluarga korban kerusuhan Mei 1998 tersebut. Sedangkan wawancara singkat yang kami lakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan – relatif lancar-lancar saja. Kita semua tahu Pak Prabowo Subianto “dituding” sebagai dalang kerusuhan tersebut. Tetapi persisnya, tidak ada yang tahu siapa sebenarnya dalang tersebut !! Namun asumsi masyarakat terutama keluarga korban kerusuhan ya terlanjur seperti itu. Temuan kami, salah satu di antaranya :
Evo’S Zhang
Pemimpin Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X atau Gusti Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo batal mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo 2024. Kabar mundurnya Gusti Bhre disampaikan oleh Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengusung Gusti Bhre di Pilkada Solo 2024, Daryono. Saya mendukung Kanjeng Gusti yg masih muda, supaya anak muda melek budaya. Fokus kembangkan budaya yg sdh mulai menarik anakmuda mengulik Mangkunegaran.