Oleh: Dahlan Iskan
INDOPOS.CO.ID – Gigi Anda berwarna putih. Tidak merah atau hijau. Jumlah rambut di kepala Anda entah ada berapa. Siapa yang peduli. Tidak pernah ada mahasiswa yang mempertanyakan itu.
Prof Dr Sutiman Bambang Sumitro, saat masih jadi dosen, sampai punya cara khusus. Agar mahasiswanya tidak pasif sepanjang hari: siapa yang bertanya dapat nilai tambahan. Biar pun sekadar bertanya.
Saya kembali bertemu Prof Sutiman. Sabtu petang kemarin lusa. Di Malang. Di Rumah Sehat. Di samping kampus Universitas Negeri Malang (UM).
Prof Sutiman memang sengaja membangun rumah sehat –bukan rumah sakit. Ia ingin menyehatkan orang yang masih sehat. Juga menyehatkan orang yang sudah telanjur sakit.
Sebelum ke Malang saya memang mengajukan beberapa pertanyaan ke beliau. Termasuk yang dipertanyakan perusuh Disway atas artikel saya pekan lalu (Disway 16 September 2024: Nano Sutiman).
Prof Sutiman langsung merespons WA saya. “Sebaiknya saya jawab secara tatap muka,” katanya. “Sugeng enjang Pak Iskan. Menurut saya perlu beberapa dasar. Menawi bapak kerso lan kagungan wekdhal, saged pinanggihan kangge sedikit berbincang. Monggo dalem saged sowan,” tulisnya di WA.
Tentu saya tidak ingin Prof Sutiman yang ke rumah saya. Jarak Surabaya-Malang sekarang sudah didekatkan oleh jalan tol. Sekalian saya ingin melihat Rumah Sehat yang ia prakarsai.
Pertanyaan yang saya ajukan tiga hari sebelumnya adalah sebagai berikut:
Bagian terkecil tubuh, menurut Prof adalah material/energi. Saya pernah baca literatur bahwa bagian terkecil suatu benda, termasuk tubuh, adalah gelombang. Apakah gelombang yang saya baca itu sama dengan energi?
Dari buku Prof, radikal bebas adalah ”benda” energi yang tidak berpasangan, sehingga tidak bisa menjadi energi. Apakah begitu?
Mengapa ada energi yang tidak berpasangan? Apakah itu terjadi saat pembelahan sel? Bukankah saat sel membelah, ada yang belahannya tidak sempurna seperti hasil kita membelah sumpit?
Sebagai bekas dirut PLN saya berkutat dengan hukum kekekalan energi, kapasitor, konductor, elektron, dan lain-lain. Itu membuat saya lebih mudah memahami buku Prof. Ternyata tubuh kita penuh dengan istilah-istilah itu seperti ditulis di buku Prof. Apakah radikal bebas itu yang membuat elektron dalam tubuh kelebihan/kekurangan?
Saya beberapa kali menjalani stem cell, berbagai macam stem cell. Salah satunya T-cell dan NK cell. Itu tugasnya meregulasi keseimbangan jumlah berbagai jenis cell. Apakah keseimbangan itu juga bisa dilakukan lewat menyeimbangkan elektron?
Suwun Prof. Kalau Prof sulit waktu, saya tidak keberatan salah satu doktor binaan Prof yang menjawab.
Begitu menerima jawaban Prof Sutiman yang sangat rendah hati saya pun cari-cari acara di Malang. Agar sekali dayung beberapa ikan terlampaui.
Saya pun sampai di Rumah Sehat. Sabtu sudah hampir berubah menjadi malam Minggu. Prof Sutiman tetap menunggu kami. Di lantai dua Rumah Sehat itu.
Satu ruang sudah disiapkan secara khusus. Proyektor sudah dipasang. Di layar terbaca huruf kanji. Prof Sutiman memang meraih gelar doktor nanobiologi di Nagoya University. Lalu masih lanjut lagi ambil Complicity Science di Mie University.
Di ruang itu Prof Sutiman didampingi tiga orang doktor. Yang satu orang doktor biologi, lalu doktor fisika, dan satu lagi doktor big data rangkap artificial intelligence yang tak lain adalah putra beliau sendiri.
Ny Sutiman yang berhasil hidup sehat setelah menderita kanker payudara juga ada di ruang itu.
Maka satu jam saya menerima jawaban atas pertanyaan di atas. Sebagian saya pahami, sebagian lagi pura-pura paham. Atau terpaksa paham. Fisika, bilogi, kimia, elektro, dicampur jadi satu jawaban.
Usai paparan matahari sudah hampir tenggelam. Saya masih sempat melihat ruang-ruang di Rumah Sehat itu. Ada satu ruang yang berisi banyak sofa tunggal. Itu adalah ruang untuk infus nano bubble.
Setiap pasien duduk di sofa untuk diinfus. Nano bubble berisi oksigen ukuran 70 nano meter.
Dengan ukuran segitu oksigen bisa langsung masuk ke sel tanpa mengikuti hukum Newton.
Dengan demikian sel bisa mendapat pasok oksigen tanpa melalui jalur logistik tradisional: hidung, paru dan saluran darah.
Dari ruang infus saya melihat ruang-ruang balur. Satu ruang berisi satu tempat tidur. Bentuknya seperti tempat tidur biasa tapi alas tempat tidur itu berupa lembaran tembaga.
Lembaran tembaga itu di-grounding-kan ke tanah. Fungsi tembaga itu untuk mengurangi elektron dalam tubuh yang berlebih atau menambah kekurangan elektron.
“Lapisan tembaga itu sebenarnya akan lebih baik kalau berupa lembaran emas 24 karat,” ujar Prof Sutiman. “Belum punya uang untuk beli emas selebar tempat tidur,” tambahnya.
Mengikuti cara berpikir Prof Sutiman saya jadi bertanya-tanya mengapa IQ orang Indonesia dibilang rendah.
Jumlah masjid terbanyak ada di Indonesia. Patung Yesus tertinggi di dunia juga di Indonesia. Maka saya marah ketika melihat di TikTok ada yang membeberkan IQ terendah se Asia Tenggara ada di Indonesia. Marahnya dalam hati: belum tentu isi TikTok itu salah.
Mungkin IQ rendah tidak masalah asal indeks hidup paling bahagia ada di Indonesia.
IQ tidak tinggi tapi bahagia. Miskin tapi bahagia. Tidak mau bertanya tapi bahagia. Sayangnya indeks kebahagiaan juga tidak tinggi di Indonesia.
Mungkin sudah waktunya ada gerakan mahasiswa bertanya. Yang memprakarsai haruslah dosennya: jangan mau mulai mengajar kalau belum ada yang bertanya. Atau jatah makan siang gratis diberikan hanya kepada mahasiswa yang berani bertanya.
Jadi, kenapa gigi berwarna putih? Mungkin memang tidak perlu ada yang bertanya. Ada yang sejak kecil sudah dibiasakan tahu jawabnya: itu bagian dari kekuasaan Tuhan yang maha pencipta. Selesai.
Jelas, untuk mahasiswa S-1 perlu dibangun gerakan berani bertanya. Sedang untuk mahasiswa S-2 perlu ada gerakan shifting paradigma: membiasakan mahasiswa S-2 melihat apa pun dari sisi lain. Lalu sisi lainnya lagi.
Itu yang dilakukan Prof Sutiman saat mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Juga ketika jadi dekan MIPA dua periode di sana. Pun ketika lagi jadi takmir masjid di kampungnya.(Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Disway Edisi 22 September 2024: Derita Alumni
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
PERUSAHAAN SMA VS PERTAMINA.. Berikut adalah beberapa aspek hukum yang bisa dianalisis dan langkah-langkah yang dapat diambil: 1). Analisis Kontrak. Perusahaan meninjau kembali ketentuan kontrak antara mereka dan Pertamina, antara lain: DURASI KONTRAK. Jika kontrak secara jelas menyatakan bahwa durasi hanya 3 tahun dan tidak ada klausul mengenai perpanjangan otomatis atau negosiasi ulang setelah periode tersebut, maka Pertamina berada dalam haknya untuk tidak memperpanjang. KLAUSUL PERPANJANGAN KONTRAK. Jika ada klausul tentang perpanjangan kontrak atau negosiasi ulang, perusahaan dapat berargumen bahwa mereka memiliki ekspektasi wajar untuk perpanjangan kontrak. Jika ada indikasi bahwa Pertamina bertindak tidak itikad baik dalam proses negosiasi ulang, bisa ada dasar hukum untuk tindakan lebih lanjut. FORCE MAJEURE ATAU TERMINATION CLAUSE. Periksa juga apakah ada klausul force majeure atau penghentian kontrak yang memungkinkan kedua belah pihak mengakhiri kontrak lebih awal atau mencegah perpanjangan. Ini bisa mempengaruhi peluang hukum perusahaan. 2). Penggunaan Klausul Negosiasi Ulang atau Itikad Baik. Dalam beberapa kontrak bisnis, ada prinsip bahwa pihak-pihak harus bertindak dengan itikad baik. Jika ada komunikasi sebelumnya yang membuat perusahaan yakin bahwa kontrak akan diperpanjang, atau jika Pertamina secara sepihak menghentikan negosiasi tanpa alasan yang wajar, maka perusahaan mungkin dapat menggugat atas dasar pelanggaran itikad baik.
Mbah Mars
BELUM SARAPAN Pagi-pagi sekali sudah datang tiga mahasiswa ke rumah Prof. Bolkin. Ketiganya “ngethuprus” ngalor ngidul. Konsultasi masalah akademik ini itu. Prof. Bolkin diam mendengarkan. Sesekali ia menurunkan kacamata tebalnya sehingga matanya kelihatan seperti mendelik. Tiba-tiba ia masuk ke kamar sebelah lalu keluar lagi membawa beberapa barang. “Anda tahu ini apa ?”, tanya Prof. Bolkin “Gelas, Prof”, jawab mahasiswa serempak. “Kalau ini ?” “Piring, Prof” “Ini ?” “Sendok, prof” “Nah, itulah” Suasana hening. Para mahasiswa diam. Menunggu Prof. Bolkin. Yang ditunggu juga Cuma diam. Akhirnya salah satu mahasiswa bertanya: “Apa maksud Prof tanya barang-barang tadi ?” “Tidak ada maksud apa-apa” “Lalu apa hubungannya dengan apa-apa yang tadi kami konsultasikan ?” “Tidak ada” “Terus ?” “Saya belum sarapan. Lapar” Mahasiswa saling pandang. Pikiran mahasiswa dipenuhi !@#%$^&*()_+~.
Achmad Faisol
menurut saya, maaf sebelumnya, ini bukan masalah ilmuwan, tetapi masalah perusahaan rintisan… pak DI sering menulis bahwa pengusaha kena tipu itu biasa… anggap saja ini tertipu akibat terlalu baik sangka terhadap ucapan presiden dan pertamina… maka, setelah ilmu, tetaplah kritis… untuk urusan bisnis, bisa tanya ke pengusaha yang tetap bangkit setelah ditipu, kurang cermat, dll… siapa contohnya…? anda sudah tahu…
djokoLodang
-o– SUSAH MENDENGAR Seorang pria tua baik hati merasa mulai sulit mendengar dan dihinggapi rasa khawatir kalau-kalau ia sedang dalam proses menjadi tuli total. Sabtu pagi kemarin, saat ia beristirahat di bangku taman, seorang laki-laki tua lain datang dan duduk agak jauh di sampingnya. Dia melihat bahwa pendatang baru itu berbicara dengan cepat. Namun telinganya tidak menangkap sedikit pun suara orang itu. Ia pun menggeser duduknya mendekat. Ia mendengarkan dengan saksama—sia-sia. Ia mengembangkan telapak tangan ke samping telinganya, tetapi yang ada hanyalah keheningan. Akhirnya, saking putus asa, ia mengutarakan pikirannya dengan lantang: “Oh, Tuhan… Akhirnya saat itu telah tiba! Aku melihat Anda telah berbicara selama ini, tetapi aku tidak mendengar sepatah kata pun.” Jawaban orang itu, yang didengarnnya dengan jelas, sangat memuaskan baginya. “Ah, Bapak. Saya memang tidak berbicara dari tadi. Saya sedang mengunyah permen karet. …” –koJo.-
Mbah Mars
Lawan kata sukar adalah mudah. Lawan kata sulit adalah sugeng. Kok bisa ya ?
Mirza Mirwan
Kalau angkatan 1990-2000 berarti usia mereka di rentang 45-55 tahun. Anak-anak mereka sudah mahasiswa juga, bahkan sudah punya cucu. Sungguh malang nian, memang. Misalkan mereka masih muda, 30-an, masih terbuka kesempatan untuk mengais rejeki di luar negeri. Sayangnya mereka sudah tua. Tak mungkin melamar pekerjaan. Kecuali kalau perusahaan luar negeri yang justru ‘melamar’ mereka. Nasionalisme memang penting. Tetapi kesejahteraan keluarga lebih penting lagi. Ironis sekali bila demi nasionalisme lantas keluarganya keleleran. Toh, dengan bekerja di luar negeri nasionalisme tetap terpelihara. Bahkan andaikata kewarganegaraannya bukan Indonesia lagi. Kita punya BRIN. Tetapi, mohon maaf, sejak badan riset itu masih berceceran sebagai LIPI, BATAN, dsb. hasil riset apa sih yang aplikabel, yang pantas disebut (dan pantas dibanggakan)? Di zaman digalakkannya energi hijau sekarang, negara harus bersikap tegas. Tak perlu bikin UU yang rumit yang makan waktu dan duit. Cukup dengan peraturan presiden yang mengharuskan perusahaan minyak memurnikan gas kotor dari gas ikutan yang mengandung polutan dari sumur minyak. Dengan perpres itu selain menyelamatkan perusahaan para alumni nelangsa tadi, juga mengupayakan udara yang lebih layak irup di sekitar sumur minyak.
Liáng – βιολί ζήτα
Sepertinya akan sangat sulit sebagai Researcher sekaligus juga sebagai Businessman. Rasa-rasanya hanya sedikit orang yang memiliki kemampuan ganda seperti itu. Maka cara yang terbaik adalah “me-maten-kan” penemuan tersebut, setidak-tidaknya di tingkat nasional. Siapapun (perusahaan) yang berminat mengaplikasikan teknologi tersebut, tentu saja wajib “membayar royalti” atas hak paten tersebut. Mereka pun bisa merangkap menjadi konsultan. Atau, jikalau passion mereka “lebih betah” di laboratorium riset untuk terus melakukan berbagai penelitian lainnya, “hak paten” tersebut bisa saja dijual. Semakin tinggi kemanfaatannya, maka semakin banyak yang berminat untuk membeli hak paten tersebut, dan pada umumnya nilai jualnya akan melambung tinggi. Tetapi, jikalau tidak ada yang berminat atau hanya segelintir orang (perusahaan) yang berminat, maka hasil penelitian tersebut kemungkinannya “tidak applicable” dengan kata lain terlalu rumit untuk diaplikasikan, itu berarti tidak efisien, dan ujung-ujungnya menjadi biaya tinggi dalam produksi. Maka, sebaik apapun suatu hasil penelitian itu dan sudah dapat digunakan, tetap dibutuhkan penyempurnaan-penyempurnaan lanjutan. Bidang apapun, pada akhirnya akan “berbicara” mengenai keefektifitasan sekaligus keefisiensiannya.
Tom Rusdi
Tulisan abah kali ini menurut saya menggiring opini bahwa pertamina tidak fair. Padahal ini kan bisnis yang sudah jelas kontraknya 3 tahun. Bisa jadi setelah dievaluasi secara busnis tidak menguntungkan pertamina. Jadi ya tidak diperpanjang. Kecuali ini program CSR akan lain lagi ceritanya. Walopun demikian saya salut dengan kegigihan ilmuwan para alumni tersebut
yea aina
Terjun berbisnis karena ingin memperoleh cuan. Dapat satu cuan ingin cuan ke dua …. dst. Kalau menikah yang dicari cukuplah ketenangan hati. Tabah menanti kapan ATM bisa kembali. Sing sabar Bli he he he.
Leong Putu
Sepahit pahitnya kopi, tetap lebih nikmat dibanding hidup yang pahit. Namun senikmat-nikmatnya kopi pahit hanya akan jadi sampah (uyuh) saja, sementara hidup yang pahit akan memunculkan tawakal dan rasa syukur serta pengalaman untuk menjalani hidup di kemudian hari. #bukan_soal_atm_disita.
Leong Putu
Berbisnis jika takut rugi, maka janganlah berbisnis. Menikah jika takut istri maka tabahkan hati. #anggota_tetap_ISTI_chapter Darjo.
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
BISA JADI PERTAMINA TIDAK SALAH SAMA SEKALI.. Dan bisa jadi justru ‘Perusahaan SMA’ yang digawangi para Alumni, justru yang salah. Salah sejak dari ‘ide’ pendiriannya. Bisa jadi ‘muatan CHDI’ hari ini yang agak mbelain alumni dan cenderung seakan menyalahkan Pertamina juga salah. Bisnis punya logika sendiri, dan Abah kalau pas lagi jadi konsultan bisnis, sangat fasih mengatakannya. Tapi kalau lagi jadi jurnalis, kadang Abah punya ‘misi’ dan ‘keberpihakan’.. Begini ‘logika’-nya.. Dalam ekosistem akademik, dosen dan profesor itu tugasnya ‘mengajar’, mahasiswa ‘belajar’, dan peneliti mekakukan ‘penelitian’. Nah, urusan penjualan hasil penelitian ke dunia bisnis? Itu tugas institusi bisnis, bukan peneliti. Ibaratnya, peneliti menciptakan resep, tapi koki bisnis yang menjual masakannya. Kalau hasil penelitiannya berkualitas dan berpotensi cuan, dunia bisnis pasti sudah antri seperti perilaku emak-emak, kalau promo diskon besar-besaran. ### Ini semua hukum ‘demand and supply’ —kalau produknya bagus, yang mau beli datang sendiri. Jadi, peneliti nggak perlu jadi sales. Tapi cukup hasilkan inovasi yang ‘laku’ di pasar.
Mirza Mirwan
Seperti biasa, Sabtu petang kemarin ratusan ribu warga Israel yang otaknya masih waras dan nuraninya masih peka melakukan demonstrasi di berbagai kota di seluruh penjuru Israel. Dari Tel Aviv, Haifa, Beersheba, Rehovot, Hadera, Netanya, Kfar Saba, Caesarea, hingga Jerusalem. Pesertanya, selain keluarga dan kerabat para sandera, juga ada anggota Knesset dari oposisi seperti Gilad Kariv (dari Partai Buruh). Pun ada mantan petinggi IDF, Dan Halutz (mantan kepala staf) — tokoh ini termasuk yang ditangkap polisi. Para demonstran seperti sudah hilang kepercayaan pada pemerintah. Tuntutan mereka untuk menandatangani kesepakatan pertukaran sandera dengan tahanan Palestina sepertinya hanya dianggap kentut oleh Bibi-Gallant. Pemerintah justru memperluas zona perang ke utara, Libanon, ketimbang mengupayakan kembalinya para sandera. Bahkan seperti Einav Zangauker sampai pada kesimpulan bahwa pemerintah sengaja mengorbankan sandera yang masih tersisa. Gilad Kariv yang anggota Knesset juga mengritik para anggota Knesset dari kubu pemerintah yang mayoritas penganut Yudaisme Hiloni (Yahudi sekular). Gilad sendiri penganut Yudaisme Masorti yang relatif masih lekat dengan ajaran Torah/Taurat, bagian dari Tanakh. Dari 10 perintah Tuhan, salah satunya adalah larangan untuk membunuh. Ada sebuah poster sarkastis: “Tomat NIS22,90. Darah gratis”. NIS itu shekel baru Israel, 22,90 shekel sekitar Rp100ribu. Korban sipil di Gaza sudah 41.391 tewas dan 95.760 terluka.
yea aina
Bisnis Untuk Memperkaya Negara, bukanlah kepanjangan BUMN sebenarnya. Karena tujuan dibentuknya badan usaha milik negara: mengelola bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Semua itu milik negara yang digunakan sebesarnya untuk kemakmuran rakyat. Berdalih BUMNnya belum mampu “mengelola” untuk menghasilkan pendapatan negara, maka konsesi pemanfaatan kekayaan itu dibagi-bagikan kepada investor. Siapapun asalkan mengantongi berbagai ijin, seperti berhak “mengeruk” kekayaan yang terkandung di dalamnya. Negeri kaya raya tapi miskin kemampuan mengelola SDA. Pilih menjual ijin konsesi kekayaannya, pun mendapat imbalan remah-remah yang tersisa, lalu apa cukup dipakai sebesar-besarnya kemakmuran rakayat?
Johannes Kitono
Scienprenur. Para ilmuwan memang genius dan fokus pada bidangnya. Tentu tidak semuanya berjiwa Enterprenur. Itulah nasib yang dialami alumni pintar itu. Begitu kontrak 3 tahun selesai tidak diperpanjang Pertamina. Tentu mereka pusing mengembalikan pinjaman bank. Banyak alumni ITB yang sukses di bisnis seperti Teddy Rahmat, Ical, Siswono etc.Tentu mereka pasti bisa mencarikan solusi buat rekan sesama alumni. Angka 60 mily tidak besar buat prospek bisnis hijau. Menteri BUMN kalau perlu intervensi membantu para ilmuwan tsb. Supaya mereka bergairah melakukan R & D lagi. Para ilmuwan perlu di bekali dengan Enterprenurship jadi Scienprenur. Jangan seperti profesi dokter. Satu sisi negara kekurangan dokter yang masa pendidikannya 7 – 10 th. Begitu lulus masuk spesialis dipersulit atau di bully. Praktek di Klinik mayoritas pasiennya bpjs yang minim fee dokternya.Kalau sistemnya tidak diperbaiki. Sampai tahun 2045 pun NKRI tetap akan kekurangan dokter. Akan terjadi brain drain. Banyak orang pintar akan pindah ke LN yang menghargai profesi mereka dengan insentif yang sesuai. Semoga Semuanya Hidup Berbahagia.