INDOPOS.CO.ID – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) didesak mendalami isu praktik tidak sehat di industri otomotif yang meresahkan para pelaku usaha. Praktik usaha monopoli dan persaingan usaha tidak sehat tersebut hingga saat ini masih ada di Indonesia.
Padahal, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) yang melarang praktik usaha tidak sehat itu sejak 1999, yakni UU Nomor 5 Tahun 1999. Hal itu dibuktikan dengan adanya klausul eksklusif dalam perjanjian vertikal antara Agen Pemegang Merk (APM) dengan distributor atau dealer.
Praktik eksklusivitas ini memang jarang tercium oleh awam. Sebab terjadi antara APM dengan dealer. Seperti kesaksian beberapa pemilik dealer mobil di Indonesia. Salah satu dari mereka menyatakan bahwa selama ini pemilik dealer harus meminta izin kepada pemilik merek jika mau mendirikan usaha baru yang menjual merek lain.
“Dalam praktiknya kita harus permisi dahulu kepada pemegang merek,” kata pemilik dealer mobil berinisial T kepada indopos.co.id, Senin (30/9/2024).
Dia juga juga menyebut ada tantangan yang dihadapi oleh distributor ketika ingin membuka jaringan penjualan merk lain. “Tantangannya ya, namanya distributor misal jadi enggak senang sama kita, kemudian tidak dikasih barang yang bagus, bisnis kita bisa mati sendiri,” ungkapnya.
Pemilik dealer mobil itu juga menyoroti bahwa jika eksklusivitas dibiarkan terus berlanjut, hal ini dapat menghambat pertumbuhan industri otomotif di Indonesia.
“Ada banyak pengusaha yang ingin masuk ke bisnis otomotif, terutama dalam penjualan mobil baru. Jika APM mau, peluang ini terbuka lebar,” ungkapnya.
Hal yang sama diungkapkan Pemilik dealer berinisial A. Dia mengungkapkan, memang dalam klausul perjanjian tidak ada kata-kkata tegas ‘dilarang’, tetapi bahasanya dalam perjanjian adalah harus mendapatkan persetujuan APM.
“Dengan kata lain ya sebenarnya dilarang mendirikan tanpa izin APM. Karena kalau dealer harus minta persetujuan ke APM sudah tahu sama tahu kalau APM susah kasi persetujuan,” ujarnya.
“Kalau pemilik dealer mau, mendirikan perusahaan baru yang menjual mobil merek lain,” imbuhnya.
Menanggapi hal itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Mone Stepanus mengatakan, praktik persaingan tidak sehat tidak hanya berdampak pada pelaku usaha, tetapi juga pada konsumen yang kehilangan akses ke berbagai pilihan produk berkualitas.
Oleh karena itu, menurutnya, kolaborasi antara pengusaha dengan pihak berwenang sangat diperlukan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan adil. “Secara tidak langsung konsumen akan dirugikan, karena pilihannya akan barang yang diinginkan itu lebih terbatas,” katanya.
Ia menyatakan, pada dasarnya setiap bisnis pasti ingin berkembang. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengembangkan bisnis adalah dengan mencoba meningkatkan bargaining power. Namun ini harus sesuai dengan norma yang ada.
“Regulator harus memastikan bahwa peningkatan bargaining power tersebut tidak melanggar norma hukum, khususnya persaingan usaha yang tidak sehat,” ujarnya. (nas)