Bongkar Pasang Kebijakan Lobster Kepiting dan Rajungan

lobster

Ilustrasi. Foto: Dok

INDOPOS.CO.ID – Indonesia memiliki sumber daya alam laut lobster yang melimpahan. Selain harga nya bernilai ekonomis tinggi, cara mendapatkannya sangat mudah di berbagai perairan Indonesia, mulai dari Lombok, Nusa Tenggara Barat sampai Simeulue, Aceh.

“Kelimpahan lobster berdasarkan data KKP (Kementerian kelautan dan Perikanan) kita bisa pahami semua. Baik itu kemelimpahan stok bening bening (BBL), kemelimpahan stok induk (dewasa) dan potensi telur per induk kita pahami juga dengan baik,” ujar Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yonvitner, ke INDOPOS.CO.ID, Senin (14/3/2022).

Saking melimpahnya sumber daya alam yang per kilogram bisa mencapai Rp5 juta tersebut, KKP sampai 4 kali melakukan bongkar pasar kebijakan khusus mengatur komoditi tersebut. Bakhan, Kamis (10/3/2022) lalu, KKP kembali melakukan uji publik untuk merevisi permen 17 tahun 2021.

“Karena KKP tidak bekerja dalam roadmap yang jelas, dan tidak didukung dengan baik, oleh sumber daya manusia yang baik dan berkualitas serta dapat diandalkan. Sehingga dengan mudah terjadi bongkas pasang. Bukan soal seksi, soal data lobster yang masih “debatable”,” tambahnya.

Menurutnya, kebijakan yang bongkat pasang peratturan pun mrnjadi anti klimak, kemelut pelarangan eksport benih lobster yang sebelumnya terjadi di era Susi Pudjiastuti kemudian menjadi terbalik di era saat ini seperti antiklimaks.

“Kenapa menjadi anti klimaks, ada tiga jawabanya sederhana yang bisa dicerna oleh awam sekalipun. Pertama eksport benih menumbuhkan sistem ekonomi instan yang lemah resilience. Kedua memperlambat penciptaan lapangan kerja terencana yang berkualitas pada budidaya. Ketiga daya saing kita tetap kalah dari competitor negara maju bidang lobster,” bebernya.

Doktor yang ahli dalam Dinamika Populasi dan Lingkungan Perairan dan Sumberdaya Perikanan

tersebut mengatakan, sistem ekonomi instan yang maksud adalah proses penangkapan yang langsung memberikan uang sangat lemah daya lentingnya. Pada bagian penangkapan nelayan kecil benar mampu memberikan penghasilan secara cepat, namun mereka dapat terperangkap lebih lama pada jurang kemiskinan karena selalu berhadapan dengan uang cash yang jumlahnya tidak seberapa. Tentu berbeda dengan nelayan pengumpul yang kemudian menjadi eksportir.

Pada sesi ini ekonomi nelayan penangkap tetap tidak akan beranjak dari penangkap karena sistem uang instan yang ditawarkan setiap operasi menangkap mendidik mereka untuk tidak kompetitif.  Pola seperti ini juga lemah daya ungkitnya dalam usaha memajukan nelayan kecil.  Dalam kontek makro, eksport benih lobster tidak signifikan dalam menumbuhkan devisa negara.

“Dengan nilai pendapatan tarif ekspor Rp0,25 per ekor, setiap 1 juta benih yang dieksport kita hanya memperoleh Rp250 ribu dikali harga benih untuk negara atau (Rp7,5 miliar untuk harga Rp30 ribu per ekor). Artinya ekspor benih lobster sama sekali tidak memberikan ekonomi bagus bagi devisa negara kita dibandingkan jika kita lakukan ekspor dewasa dengan devisa yang lebih besar lagi,” ungkapnya.

Kebijakan saat ini pun, izin ini diberikan kepada siapa saja pengusaha yang telah sukses dan punya pengalaman dalam pelepasliar 2 persen benih lobster (Puerulus) dan sudah panen secara berkelanjutan. Kebijakan penguat berikutnya adalah Keputusan Dirjen Tangkap No 51/Kep-DJPT/2020 yang kemudian menetapkan kuota eksport benih lobster 139 juta ekor benih dari data total estimasi stok yang ditetapkan 2017.

“Terasa ambique memang sementara kebijakan sebelumnya meminta adanya pengkajian stok lebih awal oleh komisi nasional pengkajian stok,” akunya.

Yonvitner menggarisbawahi permen 17/2021, pertama berhentikan ekspor benih lobster, kedua membuat etalase khusus kawasan budidaya lobster. Berhentikan ekspor benih lobster selain untuk memperkuat daya saing usaha budidaya juga memperbesar peluang bekerja.

Margin ekspor benih yang rendah tidak akan signifikan mendongkrak pendapatan negara dibandingkan ekspor dewasa. Lalu menyiapkan etalase budidaya lobster pada sentra-sentra benih di wilayah Indonesia. Konsep etalase dapat dikembangkan sistem budidaya terintegrasi dari hulu sampai hilir serta adaptasi inovasi.

“Ketika kita melihat bahwa perlu adaptasi teknologi baru, kita bisa memberikan kesempatan pada negara pemilik teknologi berinvestasi usaha budidaya lobster di Indonesia. Belum ada kata terlambat untuk berbenah selagi ada keinginan agar usaha yang kita harapkan untung tidak menjadi buntung,” pungkas Doktor jebolan IPB tersebut. (ney)

Exit mobile version