Gandeng Pakar, KKP Kupas Isu Hak Atas Tanah di Ruang Laut

kkp

Menteri Trenggono saat membuka webinar Permasalahan Pemberian Hak Atas Tanah di Perairan Laut yang berlangsung secara luring dan daring, Rabu (30/3/2022). Foto: Ist

INDOPOS.CO.ID – Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan pemanfaatan ruang laut untuk setiap kegiatan menetap harus sesuai prosedur sebagai upaya menjaga keseimbangan kesehatan ekologi dan pertumbuhan ekonomi.

Pelaku usaha maupun individu yang memanfaatkan ruang laut secara menetap harus memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Hal itu ditegaskan Menteri Trenggono saat membuka webinar Permasalahan Pemberian Hak Atas Tanah di Perairan Laut yang berlangsung secara luring dan daring, Rabu (30/3/2022).

“Kita harus menciptakan laut yang sehat, aman, tangguh, dan produktif bagi kesejahteraan bangsa melalui strategi pembangunan ekonomi biru yang menitikberatkan pada perspektif ekologi dan ekonomi untuk aktivitas yang menetap di ruang laut,” ujar Menteri Trenggono.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyusun beberapa peraturan perundang-undangan sebagai pedoman bagi pelaku usaha maupun masyarakat yang ingin memanfaatkan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

Salah satunya aturan tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Pengaturan ini bertujuan untuk meningkatkan investasi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

“Pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan permasalahannya yang kompleks, membutuhkan dukungan dan komitmen Pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaannya yang dilakukan secara terpadu, holistik, dan berkelanjutan,” pungkasnya.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Victor Gustaaf Manoppo menambahkan, PKKPRL menjadi dasar semua kegiatan di ruang laut termasuk dalam hal pemberian hak atas tanah (HAT) di perairan laut. Keberadaan PKKPRL terkait kegiatan menetap di wilayah perairan laut telah menghapus adanya hak di perairan laut sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pemberian hak atas tanah yang menjadikan pemegang hak berkuasa penuh dalam memanfaatkan dan menentukan, dapat berpotensi mencemari atau bahkan merusak keanekaragaman hayati yang berada di ruang laut, akibat dari perubahan fungsi ruang laut yang dilakukan pemegang hak atas tanah.

“Izin Lokasi atau saat ini nomenklaturnya diubah menjadi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) merupakan dasar pemberian perizinan berusaha dan perizinan nonberusaha,” terang Victor.

Bergabung melalui daring, Duta Besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno berpendapat bahwa kawasan pesisir dan perairan laut adalah kawasan sangat strategis yang memiliki sifat dan fungsi yang sangat berbeda dengan tanah di daratan. Dasar hukum zonasi maritim dilahirkan dari Hukum Internasional, bukan dari Hukum Nasional.

“Memberikan Hak Atas Tanah kepada perorangan atau kelompok perorangan atau korporasi di pesisir dan perairan laut dapat merugikan kepentingan strategis, tidak sesuai dengan praktik internasional, dan pengingkaran terhadap pengakuan UNCLOS 1982 terhadap hak negara Indonesia di kawasan pesisir dan perairan laut,” jelas Havas.

Sementara itu, Pakar Teknik Kelautan Prof. Widi Agoes Pratikno yang juga hadir sebagai narasumber dalam webinar menyampaikan, operasionalisasi penataan ruang laut dibutuhkan koordinasi yang kuat dengan mengedepankan diplomasi, komunikasi, berpegang teguh pada regulasi, dan bekerja multidimensi.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Hasanuddin, Prof. Farida Patittingi, menerangkan perlunya harmonisasi dan penataan regulasi untuk pengaturan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memperhatikan setidaknya tiga hal utama, yaitu keberadaan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal, kepentingan pelestarian lingkungan, dan kepentingan nasional yang lebih besar khususnya untuk menjaga kedaulatan negara. (ney)

Exit mobile version