Hoaks Masih Marak, Masyarakat Harus Cermat Mencerna Informasi

Hoaks Masih Marak, Masyarakat Harus Cermat Mencerna Informasi - zoom - www.indopos.co.id

Tangkapan layar bincang santai Obral Obrol Literasi Digital (OOTD), dengan Tema "Fact or Fake." Dok: YouTube Siberkreasi

INDOPOS.CO.ID – Fenomena berita palsu atau hoaks tengah menjadi persoalan cukup serius. Intensitas pembuatan dan penyebarannya meningkat drastis seiring masifnya informasi melalui media sosial. Karenanya masyarakat perlu memiliki daya berpikir kritis.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Program Literasi Digital mengupas soal keberadaan berita hoaks dengan mengadakan kegiatan Obral Obrol Literasi Digital (OOTD), dengan Tema “Fact or Fake”. Tema tersebut diangkat dalam memperingati Internasional Fact Checking Day 2022.

Salah satu narasumber kegiatan tersebut, Redaktur Kantor Berita Politik Republik Merdeka Online (RMOL.ID) Angga Ulung Tranggana menyatakan, produk pers dalam membuat kontennya tidak sama dengan media sosial. Karena kerja jurnalis mengacu pada kode etik jurnalistik.

“Dari setiap produk berita yang kita buat mengacu pada kode etik jurnalistik. Artinya kita sebagai seorang jurnalis tata kerjanya diikat oleh kode etik jurnalistik dan Undang Undang Pers,” kata Angga dalam Obral-Obrol liTerasi Digital bertajuk Fact or Fake, Jakarta, Jumat (7/4/2022).

Ia mengemukakan, alasan hoaks marak beredar. Pertama, kemajuan teknologi. Kedua, minim literasi media. Pesatnya perkembangan internet tanpa dibarengi kecakapan bersosial media.

“Hari ini yang saya alami dan pahami, media sosial dan dunia nyata itu ada garis pemisah. Seolah kalau dunia nyata itu harus penuh dengan akhlak, tapi dunia maya sesuatu yang tidak bersekuensi,” kritik Angga.

Ketua Komite Fact-Checker Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Ariwibowo Sasmito menyorot ragam saluran media sosial yang di luar kapasitasnya mendadak menjadi pembuat berita.

“Jadi sekarang sudah kesulitan untuk membedakan siapa sih produsen (berita) siapa distributor, siapa konsumen. Karena semua menghasilkan (berita),” ujar Ariwibowo.

“Semua bisa jadi media dan semua bisa jadi sumber informasi sekaligus bisa mendistribusikan dan mengkonsumsinya,” tambahnya

Ada sebuah studi menyebutkan, bahwa di Twitter itu hoaks menyebar enam kali lebih cepat dari klarifikasinya. Studi lainnya mengungkap bahwa kebiasaan orang buka YouTube mencari sumber informasi sesuai seleranya.

Pembentukan opini publik cenderung didominasi faktor emosi dan keyakinan pribadi, bukan oleh fakta-fakta obyektif. Maka itu masyarakat harus cermat dan mampu menyaring informasi secara kritis.

“Jadi lah pemeriksa fakta setidaknya untuk diri sendiri. Karena kemampuan berpikir kritis dan pemeriksa fakta semakin ke sini semakin penting,” pesan Ariwibowo. Kegiatan bincang santai itu dapat dilihat melalui info.literasidigital.id atau melalui media sosial @siberkreasi. (dan)

Exit mobile version