Dewan Pers Nilai Sidang Gugatan Enam Media di Makassar Cacat Formil

pers

Kantor Dewan Pers Jakarta. Foto: Dewan Pers untuk Indopos.co.id

INDOPOS.CO.ID – Dewan Pers menyatakan proses sidang perdata terhadap enam media di Makassar cacat formil serta menyalahi prosedur karena mengenyampingkan regulasi organik, yakni Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Peneliti, Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers Dr Ninik Rahayu saat menjadi narasumber dalam Diskusi Publik “Gugatan Enam Media di Makassar”.

Ninik menilai kasus gugatan enam media di Makassar bukan bagian dari kompetensi pengadilan, meski ada pasal dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang diartikan bahwa pengadilan tak boleh menolak gugatan.

“Kadang-kadang saya juga bertanya, gimana sih? Kalau memang perkara itu bukan kompetensinya (hakim) yah sudahalah. Memang tidak boleh menolak perkara, tapi kalau tahu itu sengketa pers yah janganlah (disidangkan),” kata Ninik secara daring, Jakarta, Kamis (23/6/2022).

Pihaknya telah menyimpulkan sejumlah persoalan dalam gugatan enam media, setelah mendengar langsung keterangan dari pihak perwakilan media tergugat dalam audiens di Gedung Dewan Pers, beberapa waktu lalu.

“Tidak tepat pengadilan mengadili sengketa pers. Bagaiamana pun penyelesaian pengaduan masyarakat terkait kasus pemberitaan pers itu harusnya dilakukan di Dewan Pers, sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) UU Pers,” nilainya.

Ninik juga menyoal aspek formil, tidak ada putusan sela setelah sidang eksepsi yang disampaikan pihak tergugat di PN Makassar. Karenanya diduga telah terjadi kekeliruan pelaksanaan hukum acara perdata dalam proses sidang tersebut.

“Saya sempat menanyakan ke para penasehat hukum dan kawan-kawan yang hadir ternyata (putusan sela) tidak ada. Info yang saya dapat sela nanti diputus di belakang, itu yang saya heran,” ujarnya.

Padahal atas putusan sela inilah para tergugat berkepentingan, kalau bukan kewenangan pengadilan harusnya pengadilan berani memutuskan tidak menerima gugatan itu dan menyarankan prosedurnya melalui UU Pers.

Atas dasar itu, pihaknya beranggapan proses persidangan enam media di Makassar “cacat” formil karena adanya kekeliruan dalam proses persidangan enam media di Makassar.

Ninik menjelaskan, perusahaan pers punya mekanisme pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhuhungan dengan pemberitaan melalui Dewan Pers.

Bahwa jika muncul ketidaksepahaman dengan berita yang dimuat media pers, maka masyarakat dapat menggunakan hak jawab dan dalam undang-undang, perusahaan pers wajib memuat hak jawab tersebut.

“Mestinya hak jawab dan koreksi digunakan betul-betul, nyatanya penggugat belum menggunakan atau tidak pernah meminta itu,” tegas Ninik.

Senada, LBH Pers/Komite Keselamatan Jurnalis melalui Mustafa Layong menyimpulkan bahwa penyelesaian sengketa berita harusnya melalui jalur pengaduan ke Dewa Pers yang menjadi lembaga pengawas dan penegakan kode etik.

“Dalam hal ini penggugat harusnya menjalankan dulu mekanisme pengaduan seusai yang diatur dalam UU Pers, seperti hak jawab dan koreksi, tidak kemudian melakukan gugatan lima tahun setelah berita itu dimuat oleh media,” jelas Mustafa. (dan)

Exit mobile version