INDOPOS.CO.ID – Upaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan pelabelan Bisphenol-A atau BPA pada galon guna ulang dinilai tidak tepat waktu dan terkesan diskriminatif. Pasalnya, pelabelan tersebut bisa menimbulkan persoalan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang turun akibat pandemi Covid-19.
Pernyataan tersebut diungkapkan Ketua Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Eva Sridiana Chaniago dalam keterangan, Kamis (30/6/2022). Ia menuturkan, air minum mineral saat ini sudah menjadi konsumsi publik.
Bahkan bertahun-tahun, menurut dia, belum ada keluhan kesehatan yang diakibatkannya. “BPOM harus membuat penelitian yang komprehensif dan tidak berdasarkan asumsi,” ungkapnya.
“Penelitian di luar negeri umumnya mengambil sampel botol bayi dan makanan kaleng, untuk dijadikan landasan pengambilan kebijakan karena masing-masing produk punya karakter sendiri,” imbuhnya.
Hal yang sama diungkapkan Direktur Salemba Institute (SI) Edi Homaidi. Dia menilai pelabelan tersebut penuh diskriminasi dan menguntungkan segelintir pelaku usaha. Sebab, depot air isi ulang dikecualikan dari wajib tempel warning BPA.
“Regulasi baru BPOM soal label peringatan BPA hanya menyasar sejumlah produk air kemasan dalam minuman (AMDK) berbahan polikarbonat yang memiliki izin edar saja,” katanya.
“Kalau memang BPOM menganggap BPA berbahaya buat kesehatan mengapa yang disasar hanya pelaku usaha tertentu? Mengapa bukan semua?,” katanya.
Ia mempertanyakan pernyataan Kepala BPOM terkait penelitian yang dilakukan terhadap BPA menunjukkan risiko bahaya kesehatan seperti infertility dan sebagainya walaupun belum jelas kausalitasnya.
“Kepala BPOM mengakui belum jelas kausalitasnya, tapi mengapa sudah dianggap sesuatu yang pasti? Kok, berani bikin kebijakan padahal belum ada penelitian yang jelas, belum dilakukan per-review. YLKI dan BPKN juga belum pernah dapat pengaduan dari masyarakat,” ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Alamsyah Aziz mengatakan, sampai saat ini tidak pernah menemukan pengaruh BPA terhadap janin.
Menurut dia, kelainan bawaan yang terjadi pada anatomi janin itu memang bisa disebabkan karena adanya exposure dari bahan-bahan yang berbahaya, termasuk BPA jika jumlah yang masuk ke dalam tubuh itu cukup tinggi, misalnya mencapai 250 miligram.
“Tapi kenyataannya, yang ditemukan pada ibu hamil, pada janin, itu sangat jauh di bawah rata-rata batas aman keamanan yang sudah ditetapkan BPOM, yaitu sebanyak 600 mikrogram per kilogram berat badan per hari,” katanya.
“Jadi migrasi BPA yang terjadi pada galon guna ulang itu sangat di bawah batas keamanan,” imbuhnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta Badan BPOM melibatkan kalangan industri terkait rencana menerbitkan aturan mengenai pelabelan potensi bahaya Bisfenol-A (BPA) pada air minum galon.
“Untuk industri ya diajak diskusi, kira-kira pelabelannya seperti apa , (agar) tidak mengganggu perusahaan,” ujarnya. (nas)