Revisi PP 109/2012 Disoal, 2,5 Juta Petani Tembakau Bakal Kehilangan Mata Pencaharian

Sikap-Ekosistem-Pertembakauan

Konfrensi Pers Sikap Ekosistem Pertembakauan terhadap Uji Publik Revisi PP 109/2012, di Jakarta, Kamis (28/7/2022). Foto: AMTI untuk INDOPOS.CO.ID

INDOPOS.CO.ID – Uji Publik Revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012) menuai polemik. Tidak seluruh representasi mata rantai ekosistem pertembakauan diundang oleh Kemenko PMK untuk menghadiri Uji Publik Perubahan PP 109/2012 tersebut.

Paparan Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) terkait poin revisi PP 109/2012. Kemudian, pemangku kepentingan ekosistem tembakau juga tidak mendapatkan draft aturan perubahan ataupun informasi poin-poin materi apa saja yang akan direvisi sebelumnya.

Lain halnya dengan kelompok yang mendukung revisi PP 109/2012 bisa menjabarkan pasal dan masukan dengan fasih. Melihat perkembangan tersebut, ekosistem pertembakauan sangat kecewa, terlebih fakta data resmi pemerintah memperlihatkan bahwa prevalensi perokok anak yang menjadi justifikasi revisi sudah turun.

“Sejak awal kami secara tegas menolak dilakukannya revisi PP 109/2012 sebab memang tidak ada justifikasi untuk merevisi PP 109. Karena argumentasi bahwa prevalensi perokok anak masih tinggi, tidak benar,” ujar Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau (AMTI) Budidoyo, dalam Konfrensi Pers Sikap Ekosistem Pertembakauan terhadap Uji Publik Revisi PP 109/2012, di Jakarta, Kamis (28/7/2022).

“Data resmi BPS menunjukkan bahwa persentase anak berusia 10-18 tahun yang merokok mencapai 9,65 persen pada 2018. Angkanya kemudian menurun menjadi 3,87 persen pada setahun setelahnya. Pada 2020, persentase anak berusia 10-18 tahun yang merokok kembali merosot menjadi 3,81 persen,” imbuhnya.

Ia menegaskan, pengajuan dan usulan revisi PP 109/2012 cacat hukum. Berlanjut dengan uji publik yang tidak sesuai dengan konstitusi dan teridentifikasi intervensi kelompok- kelompok anti tembakau yang sudah terlebih dahulu menerima draft revisi. Uji publik yang dilakukan, menurutnya, tidak mengedepankan asas keterbukaan, keadilan dan independensi.

“Secara proses saja sudah tidak sesuai peraturan dan perundang- undangan tapi kelompok pengusung ngotot. Kami tidak diinformasikan bagaimana dan seperti apa detail draft revisi PP 109/2012. Boro- boro soal substansi. Dalam uji publik, semua jenis penyakit dibebankan, disebabkan oleh tembakau. Data yang digunakan pun berbeda-beda, tebang pilih. Proses ini tidak netral. Tidak adil!,”tegasnya.

Hal yang sama diungkapkan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno. Ia mengaku kecewa kepada pemerintah yang mengabaikan nasib akar rumput. Seluruh petani, menurut dia, sejak awal menolak adanya revisi PP 109/2012, karena akan berimbas pada mata pencaharian 2,5 juta petani tembakau.

Ia menuturkan, petani sebagai kelompok marjinal yang paling sulit mendapat akses informasi terkait revisi regulasi dipaksa untuk menyetujui beleid perubahan yang jelas-jelas berisi total pelarangan dan menambah beban terhadap sektor tembakau.

“Revisi PP 109/2012 berniat membunuh 2,5 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang hidupnya bergantung pada ekosistem pertembakauan. Petani berhak mendapat perlindungan, diberi kesempatan untuk hidup layak dan sejahtera. Bukan dimatikan mata pencahariannya,” ujarnya.

Dikatakan dia, poin-poin yang disampaikan tidak valid, melainkan hoax. Uji publik yang dilakukan pun tidak tepat, hanya mencari legitimasi publik.

“Kami tidak mengerti cara berpikir Kemenko PMK yang sedari awal sudah berniat menipu. Kami petani tembakau menolak secara tegas revisi dan uji publik revisi PP 109/2012, kami menolak karena forum uji publik itu penuh dengan tipuan dan hoax,” ungkapnya.

Perlu diketahui bahwa ada empat poin utama Revisi PP 109/2012 di antaranya berisi 90 persen larangan promosi, pembatasan produksi, pengaturan aktivitas tata niaga, hingga aktivitas konsumen, sementara mengabaikan hak masyarakat di dalam ekosistem pertembakauan itu sendiri.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), I Ketut Budhyman Mudhara mengatakan, desakan kelompok-kelompok anti-tembakau tentunya bertentangan dengan usaha positif yang hendak dicapai oleh pemerintah. Yakni pemulihan ekonomi nasional pasca pandemic Covid-19.

“Sepanjang pandemi berlangsung, kami petani cengkeh berupaya bangkit, memulihkan kemandirian dan daya beli. Kami di hulu, para petani ini yang akan menjadi korban paling hebat dari usulan revisi regulasi ini,” ujarnya.

Ketidakterbukaan dan tiadanya keterlibatan ekosistem pertembakauan dalam proses pembuatan draft revisi dan uji publik PP 109/2012 menggambarkan arogansi kementerian terkait. Secara prosedural dan substansi, upaya revisi regulasi tersebut tidak transparan, dan tidak berimbang.

“Stigma yang dibangun terhadap tembakau begitu kejam, tidak rasional. Mulai dari isu kesehatan, lingkungan hingga masalah negara semua dibebankan pada tembakau. Proses revisi PP 109/2012 telah melanggar keterbukaan informasi publik. Kami ekosistem pertembakauan yang terkena imbasnya,” ujar Sekjen AMTI, Hananto Wibisono

Kelompok-kelompok anti tembakau, sebut Hananto, selalu mendorong terwujudnya kebijakan yang eksesif, dan mendorong regulasi yang melarang semua aktivitas di sektor pertembakauan. Sepanjang bergulirnya wacana  revisi regulasi ini, lanjutnya, ekosistem pertembakauan tidak pernah diberi ruang untuk menyampaikan realitas.

“Ekosistem pertembakauan telah patuh dengan seluruh pedoman yang ada di PP 109/2012. Tembakau dan produk tembakau adalah barang legal dan aktivitas legal. Kami mohon kepada pemerintah untuk melindungi ekosistem pertembakauan yang telah memberi sumbangsih bagi negeri,” tambah Hananto.(nas)

Exit mobile version