INDOPOS.CO.ID – Lahirnya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) nomor 12 tahun 2022 menjadi payung hukum dan bentuk perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
Mantan Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati mengatakan, sebagian besar kasus kekerasan seksual sering dialami perempuan. Ada korban tak berani menceritakannya karema takut terhadap pelaku dan malu bercerita.
“Sejak reformasi kita sudah mulai merasakan bahwa kita ini butuh Undang-undang secara khusus kekerasan seksual,” kata Erni dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Masih melekat dalam ingatannya, ketika tragedi Mei 1998 atau saat reformasi terjadi banyak perempuan yang jadi korban seksual. Namun, karena mereka tidak bercerita dan tidak melaporkan ke polisi. Sehingga kasus tersebut seakan terlupakan.
Maka itu, ia menyambut baik penerapan UU TPKS lantaran memiliki tatanan pembaruan hukum yang lebih progresif dan melindungi perempian korban.
“Undang-Undang ini juga membawa akses keadilan, artinya korban pertama kali melaporkan kejadian kekerasan seksual semua sistem harus melindungi, tidak menyalahkan atau menyudutkan,” imbuhnya.
Regulasi tersebut juga harus membangun sistem hukum acara yang memudahkan korban menjelaskan kekerasan seksual yang dialami.
Selanjutnya, aparat kepolisian memiliki kewenangan menangani perkara harus melakukan sesuatu sesuai tugasnya. Misalnya, berkas perkara ditangani harus maju sampai ke meja hijau.
“Kita lihat kasus seksual sebelumnya, sangat sulit pelaku seksual itu dimajukan ke dalam persidangan,” tuturnya.
Hal itu terbukti dari kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jombang, Jawa Timur. Pelakunya anak seorang kiyai yang sudah mendapat surat panggilan dari polisi tapi tak pernah memenuhi undangan penyidik. (dan)