Misteri Motif Ferdy Sambo, Benarkah karena Siri’?

Ferdy Sambo

Mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo (Dok Humas Polri)

INDOPOS.CO.ID – Satu per satu teka-teki terkait kasus kematian Brigadir Nofryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J mulai terungkap. Satu hal yang saat ini masih menjadi misteri adalah motif Irjen Ferdy Sambo membunuh Brigadir J.

Sejak pertama kali kasus ini terungkap ke publik, dugaan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi menjadi salah satu yang paling banyak disorot. Apalagi, Ferdy Sambo dalam keterangannya konsisten mengenai hal itu.

Saat mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu mendatangi Bareskrim Polri untuk menjalani pemeriksaan oleh penyidik Tim Khusus Polri, Kamis, 4 Agustus lalu, ia dengan tegas menyinggung hal itu di hadapan awak media.

Begitu juga saat diperiksa Tim Khusus Polri, Ferdy Sambo mengatakan bahwa dia marah dan emosi setelah mendapatkan laporan dari istrinya yang mengaku mengalami tindakan yang melukai harkat dan martabat keluarga yang ia sebut terjadi di Magelang dan dilakukan Brigadir J.

Dalam budaya masyarakat di Sulawesi Selatan, apa yang dilakukan Ferdy Sambo disebut sebagai pembunuhan karena Siri’. Bagi masyarakat Sulsel, Siri’ sama derajatnya dengan martabat, nama baik, harga diri, reputasi, dan kehormatan diri maupun keluarga, yang harus dijaga dan dijunjung tinggi.

Guru besar Universitas Bhayangkara Jaya (UBJ), Profesor Hermawan Sulistyo atau yang karib disapa Prof Kiki juga sempat menyinggung hal ini dalam dialog di tvOne pada Sabtu malam. Menurutnya, selain di Sulsel yang merupakan tempat kelahiran Ferdy Sambo, budaya Siri’ seperti ini menurut Penasihat Ahli Kapolri itu juga bisa ditemukan di beberapa daerah lain di Indonesia.

Dosen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Unhas, Burhan Kadir, S.S., M.A. mengatakan, dalam masyarakat Sulawesi Selatan penegakan nilai siri adalah hal yang tidak berbanding lurus pada tinggi rendahnya tingkat pendidikan (sekolah) atau jabatan.

“Siri itu hal yang berurusan dengan sisi emosional seseorang, seperti cinta kadang tak bernalar dan berbeda perlakuan bagi yang merasakannya. Dalam pandangan orang yang sedang tidak berurusan dengan sisi emosional stabil maka akal sehatnya mendorong dia memberi penilaian baik, buruk atau waras dan tidak waras,” katanya.

Berbeda halnya, kata dia dengan orang yang sedang dikuasai oleh amarah dan rasa cinta yang berlebih, emosional yang sedang tumpah ruah maka akal “sehatnya” dalam kondisi seperti itu membenarkan apapun yang sedang dia lakukan.

“Makanya terkadang ada rasa menyesal saat emosional kita menjadi stabil, akal pikiran kembali ke mode sehat dan ajaran-ajaran bangku kuliah, nasihat orang tua mulai bekerja dan memberi penilaian terhadap tindakan kita sebelumnya,” jelasnya.

Menurutnya, tolak ukur penegakan siri/harga diri setiap suku bangsa di Indonensia itu berbeda. “Bagi masyarakat Sulawesi Selatan; Bugis, Makassar, Toraja dan Enrekang bahkan masyarakat Mandar yang kini berada pada wilayah Sulawesi Barat pun susah untuk tidak terjerembab ke dalam kriminalitas saat penegakan nilai siri itu dilakukan. Ini dikarenakan dalam pola pikir mereka tidak mau menjadi orang yang nipakasiri (dipermalukan) atau orang yang mate siri (kehilangan harga diri),” ujarnya.

Sebab kata dia, mereka menyakini bahwa mate siri itu sama dengan hanya menjadi rupa tau atau hidup bak menyerupai manusia saja, kehilangan ruh sebagai manusia.

“Kehilangan harga diri itu bisa saja seperti menampar, menegur dia di depan umum, membawa lari atau kawin lari dengan anak gadisnya, mengganggu, melecehkan istri atau kerabatnya,” katanya.

“Bila kondisi tersebut terjadi maka akal pikirannya yang mendominasi dalam kepalanya adalah Anda atau saya yang mati. Siri dalam sistem budaya masyarakat Sulawesi Selatan adalah sebagai pertahanan harga diri, kesusilaan dan hukum. Dianggap sebagai alat untuk menjaga keseimbangan kekerabatan dalam sistem kehidupan sosial mereka,” lanjutnya.

Ia menjelaskan, sebagai pribadi manusia Sulawesi Selatan, siri adalah perwujudan nyata di alam akal budi seutuhnya sebagai manusia, menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan untuk menjaga harkat dan martabat kemanusian.

“Ada nilai spirit di dalamnya, tinggal bagaimana spirit itu kemudian berwujud, tergantung situasi dan kondisi yang menyertainya. Tak sedikit perantau masyarakat Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi ‘Sultan’ di tanah rantau karena dari dorongan nilai siri itu dan tak sedikit pula yang harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena penegakan nilai siri tersebut,” jelasnya.

Akan tetapi lanjut Burhan, apapun hasilnya setelah mereka menegakkan nilai siri’, bagi mereka telah menjaga marwah sebagai manusia Bugis, Makassar, Toraja, Enrekang dan Mandar di mana pun mereka berada. “Menjaga nilai-nilai siri’ menegakkan harga diri dan keluarganya, baginya adalah sebuah akal budi,” tandasnya. (ibs)

Exit mobile version