Kebebasan Berpendapat Harus Berbanding Lurus dengan Kecakapan Digital

OOTD

Obral Obrol Literasi Digital (OOTD) bertajuk Merdeka Berbicara dengan Penuh Tanggung Jawab. Foto: Aplikasi Zoom

INDOPOS.CO.ID – Setiap pengguna media digital dituntut mempunyai kecakapan. Namun, tidak hanya mampu mengoperasikan alat, melainkan harus bermedia digital dengan penuh tanggung jawab.

Direktur Program Maarif Institute Moh. Shofan mengatakan, banyak pengguna media sosial tak kritis menyaring informasi. Itu berdasarkan riset percakapan publik bersifat massif, bahwa literasi digital berpengaruh terhadap dunia pendidikan.

“Hampir setiap hari informasi datang, kalau tidak cakap dalam menggunakan media sosial tentu kita akan ikut di dalam arus itu,” kata Shofan dalam webinar Obral Obrol Literasi Digital (OOTD) bertajuk Merdeka Berbicara dengan Penuh Tanggung Jawab, Jakarta, Jumat (19/8/2022).

Akibat lemahnya literasi digital, membuat kebebasan berbicara mengalami penurunan. Sekali pun ruang digital bisa menjadi sarana kebebasan berekspresi dengan tetap diikuti kesiapan penggunanya.

“Jadi kebebasan berpendapat itu harus berbanding lurus dengan kecakapan digital. Kecakapan digital bukan sekadar cakap di dalam bermedia sosial,” ujar Shofan.

“Kebebasan berbicara di media sosial itu menjadi sangat penting. Tapi dibatasi kebebasan yang lain, boleh bicara apapun asal itu bisa dipertanggungjawabkan,” tambahnya.

Co-Chair Y20 Indonesia 2022 Rahayu Saraswati menyatakan, setiap individu yang menggunakan media sosial perlu memiliki pemikiran kritis. Maka terbiasa melihat segala sesuatunya dengan jelas, rasional, terbuka, dan mengedepankan bukti serta fakta.

Namun, tidak didukung dengan sistem pendidikan yang tidak sesuai kemajuan zaman. Sehingga sebagian besar masyatakat tidak punya kemampuan di tengah derasnya arus informasi.

“Informasi yang berlebihan dengan kebebasan itu, bisa disalahgunakan dan akhirnya orang bisa keliru dalam mengartikan dan bereaksi. Tanggung jawab tidak bisa hanya satu sisi, tapi harus dari kita semua,” ucap Saraswati.

Manajer Program Kebijakan Meta di Indonesia Dessy Sukendar berpendapat, berpikir kritis tidak hanya menyangkut edukasi, melainkan melakukan kebiasaan baik dalam menerima suatu informasi di media sosial.

“Ketika seseorang mencerna informasi yang intinya itu kebiasaan, tidak tergantung dengan edukasi seseorang.

Akan tetapi tergantung kepada kebiasaan baik mereka dan juga nilai- nilai,” terang Dessy.

Adapun pelatihan empat pilar utama literasi digital. Di antaranya kecakapan digital, budaya, etika dan keamanan. Kegiatan itu dapat terus dilihat melalui laman resmi Literasi Digital melalui media sosial @siberkreasi.(dan)

Exit mobile version