Emrus: Datangi Bareskrim Berkerudung, PC Bukan Pakai Busana Agama Tertentu

ikn

DR Emrus Sihombing, komunikolog dan dosen ilmu komunikasi Universitas Pelita Harapan. (Istimewa)

INDOPOS.CO.ID – Pakar komunikasi politik dan dosen pasca sarjana Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menyambut positif tersangka kasus pembunuhan Brigadir Josua mendatangi Bareskrim Mabes Polri dengan busana tertutup untuk menyamarkan identitas dirinya sebagai tersangka.

Komunikolog Indonesia ini mengatakan, dengan memakai busana tertutup tersebut tersangka PC bukanlah memakai busana agama tertentu, melainkan ikut membantu jurnalistik menggunakan azas praduga tidak bersalah dengan tidak menuliskan identitas dirinya secara lengkap sebagai tersangka.

”Saya belum bisa mengambil kesimpulan tersangka PC menggunakan busana agama tertentu.Namun demikian, hak hak ibu PC sebagai tersangka harus dilindungi, karena ibu PC belum tentu bersalah dalam kasus pembunuhan tersebut sebelum ada putusan dari Pengadilan. Namun, sekarang kita lihat masyarakat sudah menghakiminya melalui berbagai platform media sosial,” terang Emrus Sihombing kepada indopos.co.id, Jumat (26/8/2022).

Emrus justru mengapresiasi PC yang mendatangi Bareskrim untuk diperiksa sebagai tersangka dengan menggunakan penutup kepala dan masker yang dapat menutupi identitas dirinya secara terang benderang.” Beliau kan belum dinyatakan bersalah oleh Pengadilan, sehingga saat menyandang status sebagai tersangka kita wajib menggunakan azas praduga tak bersalah.Maka saya anggap wajar, ketika ibu PC datang ke Bareskrim menggunaan penutup kepala dan masker yang serba hitam yang membuat dirinya nyaman, dan hal tersebut tidak identik dengan busana agama tertentu,” tegasnya.

Lebih jauh Emrus mengaku prihatin melihat ruang publik saat ini. Sebab, tidak jarang wacana publik dicemari polusi komunikasi. Betapa tidak, kita masih menyaksikan berseleweran isi pernyataan yang tidak disertai dengan tanggung jawab sosial bidang komunikasi.

“Ketika sesuatu topik menjadi viral yang diduga dan boleh jadi secara subyektif tidak inline dengan kepentingan publik, maka pelontaran pesan komunikasi yang tidak mengindahkan aksiologi (etika dan moral) komunikasi seolah hal biasa. Lebih menyedikan lagi seolah ada pembiaran sehingga menjadi “pewajaran”. Padahal, jika ada orang bersikap netral saja pada tindakan amoral, sama saja ia bagian dari amoral itu. Singkaynya, jangan sampai terjadi pembiaran,” tutrnya.

Menurt Emrus,tindakan komunikasi semacam ini sangat bertentangan dengan upaya kita membangun/membentuk adab komunikasi antar manusia.

“Salah satu contoh, sempat beredar infografis yang seolah mengkonstruksi secara subyektif “kekaisaran” atau “konsorsium” dengan menyebut nama beberapa orang tertentu yang sampai sekarang perlu dipertanyakan kebenarannya atau sangat diragukan.Lagi pula, penyebutan nama tersebut sama sekali tidak mengindahkan azas praduka tak bersalah. Lebih filosofis lagi, tindakan tersebut tidak sejalan dengan nilai budaya kita yaitu berpijak pada kemanusiaan yang beradab,” paparnya.

Akibatnya, kata Emrus, hak-hak individu dikalahkan oleh kekuatan viralisasi yang kebenarannya juga masih sumir. Yang lebih parah lagi, keluarga orang yang disebut namanya, suka tidak suka, seolah mendapat penghakiman sosial. Mereka lebih memilih diam, di tengah potensi hak-hak mereka “terjajah” dan kemungkinan berpotensi terjadi pencemaran nama baik keluarga.

Sebelumnya ramai di media sosial, istri Irjen FS yakni PC mendatangi Bareskrim Polri menggunakan kerudung dan busana tertutup yang identik dengan busana agama tertantu, sehingga banyak nitizen yang membully PC dengan menyebut mendadak Muslim saat ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Brigadir J. (yas)

Exit mobile version