“Perang” Urat Saraf Jenderal Dudung-Effendy Simbolon, Ini Saran Kyai Marsudi Syuhud

dudung

INDOPOS.CO.ID – Tokoh nasional Dr. KH. Marsudi Syuhud, M.M meminta semua elemen negara untuk lebih menahan diri dan tidak saling menyudutkan apalagi saling bermusuhan terkait perbedaan saling silang bahkan saling serang antar elit.

Hal ini dipicu “perang” urat saraf antara Jenderal Dudung dengan Effendy Simbolon.

Respon KH Marsudi terhadap isu yang hangat diperbincangkan masyarakat adalah kegaduhan yang dipicu anggota parlemen Senayan dengan Medan Merdeka Utara yang tak lain adalah Markas Besar TNI AD.

Gaduh Legislator dengan Pimpinan TNI, sungguh sangat membuat telinga publik gatal. Walau Effendi Simbolon dari Fraksi PDI Perjuangan sudah meminta maaf atas statemennya yang membuat Kasad Jenderal TNI Dr. Dudung Abdurachman murka lantaran TNI disamakan sebagai gerombolan dan tidak lebih dari ormas, ternyata pihak Jenderal Dudung tidak mengendorkan ancamannya.

Padahal keduanya merupakan pejabat publik dan warga negara terhormat yang seharusnya sama-sama dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan Idielogi Pancasila dan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan RI) serta menjunjung kebebasan penyampaian pendapat di ruang publik, yang masing-masing dilindungi Undang Undang di Negara Demokrasi ini.

Tokoh NU ini meminta kedua tokoh nasional ini masing-masing lebih bijak bernarasi di ruang publik. Karena akan jadi masalah besar jika berdampak kepada gangguan stabilitas sosial masyarakat di saat kondisi bangsa tidak baik-baik saja menuju ancaman inflasi tinggi. Sekalipun Pandemi Covid-19 sudah relatif mulai selesai.

‘’Ya, Mestinya mereka menahan diri, tidak emosional. Insya Allah semuanya bisa dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya kalau kita sama-sama memahami esensi demokrasi,” kata Kyai Marsudi Syuhud kepada wartawan di Depok Jawa Barat, Sabtu (24/9/2022).

Kegaduhan antara anggota parlemen dan mitra kerja di eksekutif berawal saat Rapat Kerja antara Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa bersama jajarannya dengan Komisi I DPR RI di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta.

Saat itu, Effendi Simbolon yang merupakan Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP menyoroti indikasi ketidakharmonisan Panglima TNI dengan KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurrahman.

Jenderal bintang empat ini beberapa kali tidak hadir mendampingi Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa baik saat rapat kerja dengan DPR atau pun dalam kesempatan lainnya.

Atas indikasi itu, terlontar perkataan dari Effendi Simbolon yang menilai TNI ini seperti ormas yang pimpinannya menganggap biasa tidak patuh pada Panglimanya. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi.

Dengan statement tersebut, maka gegerlah kalangan TNI AD.

Atas pernyataan Effendi Simbolon tersebut akhirnya dia secara terbuka meminta maaf kepada seluruh jajaran TNI AD, termasuk kepada para purnawirawan maupun sesepuh TNI.

Rupanya permintaan maaf tersebut tidak serta merta mendapatkan respon positf dari sebagian anggota atau jajaran TNI AD.

Hari-hari berikutnya beberapa personil TNI AD serta beberapa kesatuan teritorial dari berbagai daerah mengeluarkan pernyataan keras yang diikuti dengan ancaman-ancaman mengerikan.

Melihat keadaan itu, banyak tokoh masyarakat berharap agar tindakan emosional itu segera diakhiri. Apalagi, bangsa ini sedang menghadapi masalah ekonomi yang kurang menguntungkan paska pandemi ditambah kenaikan BBM yang memicu kenaikan harga kebutuhan lainnya serta persiapan ritual demokrasi 2024 yang makin dekat dan menambah eskalasi politik semakin menghangat bahkan cenderung panas.

“Ada banyak hal yang sedang menggoncang negeri ini. Jika sekarang diikuti oleh kegaduhan antara institusi TNI AD dan DPR RI, sungguh ini bisa mengancam kestabilan bangsa dan negara kita. Karena ini dapat memengaruhi terhadap pendidikan politik yang kurang santun dan kurang bijak serta kurang mendidik akhlaq bangsa,” kata Marsyudi seraya mengajak pihak-pihak yang terlibat dan masyarakat luas untuk menahan diri hingga tidak semakin memperkeruh masalah yang dihadapi bangsa dan negara kita.

Dengan menahan diri, katanya lebih lanjut, pihak-pihak yang terlibat bisa berfikir jernih. Sehingga mereka akan sadar, ada persoalan bangsa yang lebih besar yang harus mereka atasi daripada hanya sekadar menuruti emosi sesaat karena tersinggung oleh pernyataan spontan.

“Jika berstatement begitu langsung dibungkam, nanti anggota parlemen yang lain tidak akan berani bicara. Padahal di negara demokrasi sejatinya yang dibutuhkan adalah ‘Annaqdu laisa alkhiqdu’, kritik yang membangun bukan mencaci maki. Dan itu memang tugas mereka untuk mengawasi atau mengkritisi pemerintah. Amar ma’ruf harus dengan cara yang ma’ruf, nahi munkar juga dengan cara yang ma’ruf juga,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Ekonomi Darul Uchwah, Depok ini.

*Sanksi Sebagai Pengingat*
Terkait sanksi yang disampaikan Majelis Kehormatan Dewan (MKD), Marsudi menilai hal tersebut merupakan pengingat, teguran atau evaluasi atas ketidaketisan Effendi Simbolon yang menyebut TNI yang merupakan organ pemerintah sebagai ormas.

‘’Itu bisa dinilai tidak etis. Sanksinya bisa peringatan atau teguran. Sehingga Effendi Simbolon tidak boleh mengulanginya lagi sebagai evaluasi bahwa parlemen tetap menggunakan fungsinya yang dijamin konstitusi namun tetap menggunakan etika dan beradab dalam bertutur maupun berdialektika,’ tutur Kyai Marsyudi

Marsudi mengingatkan bahwa untuk kasus ini, bukan hanya Effendi Simbolon yang harus belajar etika. Tapi para prajurit TNI AD yang mengeluarkan pernyataan keras diikuti dengan ancaman yang mengerikan pun harus lebih bijaksana dalam menanggapi komentar terkait institusi atau Panglima mereka sekalipun.

Walaupun, jika mengutip pernyataan Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Prajurit Sapta Marga melakukan hal itu secara spontan dan emosional, karena merasa tersinggung dengan ucapan Legislator Banteng moncog putih ini.

‘’Yang demikian kalau ditonton oleh anak-anak kita yang kelak jadi pemimpin, akan menjadi perilaku yang kurang mendidik. Yang dipersepsikan adalah ancaman kekerasan dan tidak menujukkan akhlaq ketimuran, intelektualitas tinggi karena ini disampaikan di wilayah publik yang bukan wilayah perang. Jadi dua-duanya harus menempatkan diri pada tempatnya masing-masing dan proporsional, tidak keluar dari batas demarkasi sesuai tupoksinya masing-masing. Karena keduanya adalah mewakili lembaga terhormat, yang berdirinya melalui undang-undang. Apa saja yang dilakukan oleh lembaga Pemerintah adalah harus mencerminkan kemaslahatan kepada publik karena intinya adalah “Tashorruful Imam ala Ro’yah manutun bilmashlakhah” apa saja yang dilakukan oleh Imam (pemimpin) harus berdampak maslahah, bukan sebaliknya,” pungkas Kyai yang dikenal responsif terhadap isu-isu kebangsaan dan ekonomi umat ini. (bro)

Exit mobile version